Bolehkah Menggunakan Kain Penutup Tembok?


hukum kain penutup tembok

Persoalan kain penutup tembok, hadis terkuat yang menjadi dalil dalam masalah ini adalah hadis dari Ibunda kaum mu’minin, ‘Aisyah radhiallahu’anha dimana beliau bercerita kepada Abu Thalhah radhiallahu’anhu,

خرج أي النبي –صلى الله عليه وسلم – في غزاته فأخذت نمطاً فسترته على الباب، فلما قدم فرأى النمط عرفت الكراهية في وجهه، فجذبه حتى هتكه أو قطعه، وقال : “إن الله لم يأمرنا أن نكسو الحجارة والطين ” ،

“Suatu ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam berangkat menuju peperangan (perang Tabuk-pen), aku mengambil kain lembut yang berbulu lalu kupasang sebagai penutup (dibalik pintu kamar) saat baliau shallallahu’alaihi wasallam tiba beliau melihat kain tersebut dan aku tahu ada tanda kebencian pada wajah beliau. Lalu beliau menariknya dan memutusnya seraya bersabda, ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kami memakaikan kain pada bebatuan dan tanah liat (tembok).’ (HR. Muslim 2106)

Para ulama berbeda-beda pendapat tentang masalah ini. Diantaranya,

1. Mayoritas ulama Syafiiyyah dan salah satu riwayat keterangan dari Imam Ahmad, berpendapat larangan yang terdapat dalam hadits diatas dihukumi makruh. Kecuali jika kain penutup tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar (makhluk bernyawa) maka status hukumnya berubah menjadi haram. Inilah pendapat paling kuat dari madzab hambali sebagaimana yang dikatakan Ibn Qudamah dalam Al Mughni.

Menurut pendapat Hanabilah hukum makruh ini berlaku jika tidak ada keperluan ketika memasang penutup kain tersebut, seperti ketika musim dingin (dipasang kain penutup tembok untuk memperhangat ruangan). Adapun jika ada keperluan memasang penutup kain maka hukumnya boleh (tidak lagi makruh). Karena tidak lagi termasuk sikap berlebih-lebihan.

Dan pendapat ini merupakan pendapat terkuat dalam madzhab Hanafiyah. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Bahr ar-Raiq,

وله أن يستر الجدار باللبد وغيره

“Orang boleh menutup tembok dengan labid (kain wall tanpa bulu).”

Demikian pula menurut Malikiyah, ini merupakan pendapat dalam madzhab itu. Mereka menyebutkan dalam pembahasan tentang walimah di buku-buku fiqhnya, bahwa bukan termasuk hal terlarang menutup tembok dengan sutera. Simak penjelasannya di as-Syarh al-Kabir (2/337).

2. Sebagian Ulama Syafiiyyah berpendapat bahwa larangan tersebut dihukumi haram. Mereka berdalil dengan hadis ‘Aisyah di atas. Pendapat ini bisa dibantah dengan dua hal berikut ini:

Pertama, Dalam hadits ‘Aisyah diatas tidak terdapat pengharaman menutupi tembok dengan kain. Namun lafadz yang ada hanyalah mengkhabarkan bahwa “Kami tidak diperintah untuk menutupi tembok.” Peniadaan perintah ini tidak menunjukkan akan haramnya perbuatan tersebut. Begitu juga tidak bisa dihukumi sunnah dan wajib. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.

Kedua, Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dikarenakan ada gambar makhluk bernyawa yang ada pada kain penutup milik Aisyah radhiallahu’anha. Hal ini berdasarkan riwayat lain yang disebutkan Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad dan yang lainnya. Aisyah rahiallahu’anha mengatakan,

دخل النبي صلى الله عليه وسلم علي، وقد سترت نمطا ” أي نشرته، وجعلته ساتراً “فيه تصاوير “.

“Suatu saat Nabi shallallahu’alaihiwasallam masuk menemuiku. (Sebelum beliau datang) aku bentangkan tirai penutup terbuat dari kain yang ada gambar (makhluk bernyawa).”

Imam Nawai mengatakan, “Gambar tersebut adalah gambar kuda yang memiliki sayap.” (Fathul Mun’im 8/373)

Kesimpulan: memasang kain penutup pada tembok hukumnya makruh bila sekedar untuk hiasan (karena termasuk sikap berlebih-lebihan) tanpa ada keperluan yang penting. Dan hukumnya berubah menjadi haram jika kain tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar makhluk bernyawa.

Mari lebih lanjut kita perhatikan penjelasan Al Allaamah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahuallah

Pertanyaan:

Seorang pendengar dari Irak bertanya melalui suratnya, “Aku pernah mendengar sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam secara makna beliau shallallahu’alaihi wasallam suatu ketika masuk menemui ‘Aisyah dan mendapati (kain) penutup dinding yang dipasang (diatas pintu) atau jaman sekarang disebut gorden. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah,

” Kami adalah umat yang tidak diperintah untuk menutupi tembok.”

Berdasarkan hadits yang mulia ini apakah gorden yang dipasang hanya boleh selebar bukaan jendela? atau apakah boleh memasang gorden pada tembok yang terdapat jendela? Mohon berilah kami pencerahan. Baarakallahufiikum.

Jawaban:

Hadits yang disebutkan oleh penanya tersebut terdapat dalam Shahih Muslim. Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat gorden yang menjuntai dibalik pintu hal ini membuat wajah beliau menampakkan kebencian. Lalu beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إن الله لم يأمرنا أن نكسو الحجارة والطين

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kami memakaikan kain pada bebatuan dan tanah liat (tembok).”

Kemudian beliau memotong kain tersebut.

Hadis ini menjadi dalil bahwa seseorang tidak pantas menutupi tembok rumahnya dengan jenis kain yang dibenci oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Karena kebencian itu terlihat pada wajah beliau ditambah lagi khabar beliau bahwa Allah Ta’ala tidak memerintahkan hal itu.

Adapun gorden yang digunakan orang jaman sekarang jika digunakan untuk tujuan yang benar selain sebagai “penutup” saja maka tidak apa-apa insyaallah. Sebagaiman jika seseorang memakai gorden dengan tujuan menutupi sisi jendelanya dari sengatan matahari atau dengan tujuan lainnya maka hal ini tidak masalah. Karena kondisi semacam ini bukan termasuk memakaiakan kain pada bebatuan atau tanah liat (dinding) akan tetapi masuk kategori penjagaan dari gangguan yang mendekatinya. Memberi kain penutup (kiswah) juga diperbolehkan untuk tujuan kemashlahatan lainnya. Berbeda jika kiswah tadi digunakan dalam rangka semata-mata untuk menghiasi dinding agar lebih cantik maka inilah yang termasuk dalam larangan dalam hadis. Tidak pantas untuk kita lakukan.” (Fatawa Nur ‘Ala Darb.)

Pada kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya dengan permasalahan yang sama.

Pertanyaan:

Larangan menutupi tembok. Apakah hukum larangan ini sampai derajat haram? Apakah maksud larangan tersebut berlaku jika menutupi satu sisi tembok saja atau harus semua sisi?

Jawaban:

Menutup dinding itu ada dua macam:

Pertama, menutupi secara riil (menyelimuti) . Sebagai contoh jika seseorang menutupi rumah atau batu dengan kain penutup (kiswah) sebagaimana ka’bah. Maka jelas ini perbuatan terlarang karena ia telah menyerupakan rumahnya dengan ka’bah.

Kedua, menutupi bagian dalam (tembok rumah) maka hal ini tidak mengapa selama ada kebutuhan. Baik untuk menjaga dari udara dingin, udara panas atau agar tidak silau dari cahaya luar tatkala seseorang ingin tidur. Karena bangunan rumah saat ini -sebagaimana kalian juga tahu- berubah menjadi dingin dimusim dingin dan akan panas dimusim panas. Maka tidak mengapa jika seseorang memasang penutup kain ditemboknya untuk mereduksi suhu dingin di musim dingin dan suhu panas di musim panas. Karena perbuatan ini tidak bermaksud menutupi secara hakiki akan tetapi dengan maksud untuk melindungi dari udara dingin, udara panas serta melindungi dari sinar matahari agar tidak menyilaukan bagi orang yang ingin tidur sehingga dia bisa istirahat dengan tenang.”

(Liqaa’ Albaab Almaftuuh (2), Tathbiiq Fatawa Ibn Utsaimin rahimahullah lianduruwiid.)

Sumber:

Penysusun: Ummu Fatimah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Biats

Artikel WanitaSalihah.Com

 

One comment
  1. Fitri

    21 November , 2017 at 2:05 pm

    Bagaimana dengan ka’bah? Rumah Allah??

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.