Ingin Cerai Tapi Takut Anak-Anak Terlantar


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum
Saya adalah seorang istri (39 tahun), punya tiga putra yang masih kecil-kecil. Usia pernikahan kami lebih dari 5 tahun. Saya seorang PNS, walaupun begiu saya tetap melakukan kewajiban saya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Suami saya saat ini masih menganggur. Mungkin karena suami belum punya pekerjaan, bawaan dia marah-marah terus. Kalau dia marah, sasarannya adalah anak tertua kami; dipukul, ditendang, ditampar dsb. Ini yang membuat saya tidak tega sama anak sehingga kami sering bertengkar hebat. Pertanyaan saya:
1. Langkah apa yang terbaik menurut Islam yang harus saya tempuh? Saya tidak ingin cerai karena anak-anak saya masih kecil.
2.Suami saya pernah mengatakan, “Saya mau pisah sama kamu.” Waktu dia lagi marah. Apakah itu berarti sudah jatuh talak kesatu? Apa yang harus saya lakukan? Mohon penjelasannya. Terimakasih.

Dijawab oleh Al-Ustadz ‘Aunur Rafiq bin Ghufran, Lc hafidzahullah

Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Ketika suami marah pasti ada sebabnya, maka sebaiknya istri sebagai orang terdekat suami mempelajari terlebih dahulu sebab timbulnya kemarahan suami, karena mustahil orang marah tanpa sebab.
Jika penyebabnya karena istri kurang memenuhi hak suami, maka istri hendaknya memerbaiki diri, sehingga suami tidak suka marah-marah lagi.
Karena pribadi yang terbaik adalah yang senantiasa mencari kesalahan diri sendiri agar bisa memperbaiki keadaan dirinya sehingga kehidupan keluarganya menjadi baik, sebelum ia menghukumi orang lain.

Apalagi wanita kerja sebagai PNS pada umumnya banyak disibukkan waktunya untuk acara di luar, sehingga ketika pulang kerja terkadang suami kurang diperhatikan, demikian juga anak.
Jika sang istri sering keluar, mungkin suami akan marah, karena tidak bisa memnuhi “hajatnya” pada waktu yang dibutuhkan.
Jika sang ibu sering keluar, anak biasanya juga kurang terurus, sekalipun bapak di rumah. Karena kasih sayang ibu kepada anak melebihi sayangnya bapak kepada anaknya. Di sisi lain, ibu lebih dapat bersabar mendidik anaknya dari pada ayah.
Bisa jadi bapak marah karena kepada anak, karena tingkah laku anak yang masih kecil; sering bertengkar sehingga yang disalahkan atau menjadi sasaran adalah anak tertua.
Ini semua bisa menjadi pertimbangan istri pada saat melihat emosi suami.

Kami sarankan agar istri tidak minta cerai terlebih dahulu tapi berusaha bersabar dan mencari jalan yang lebih baik untuk meredakan kemarahan suami. Apalagi fitnah wanita menjanda lebih berbahaya daripada ketika masih bersuami. Karena walaupun suami ada kekurangannya, tetapi kelebihannya insyaallah lebih banyak juga.

Adapun perkataan suami kepada istri ketika marah, “Saya mau pisah sama kamu.” Ini belum dikatakan talak. Sebab ada kata-kata, “Saya mau…” yang menunjukkan suami baru punya keinginan dan belum menjatuhkan talak. Karena mungkin maksudnya untuk menakut-nakuti istri agar menjadi lebih baik dan mengerti perasaan suami, apalagi ucapanan itu diungkapkan ketika suami marah.

Jika suami pada hari berikutnya mengucapkan talak kepada istrinya saat marah maka perlu dikaji ulang tingkat kemarahannya.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hukum suami menalak istrinya ketika marah, beliau menjawab:
Adapun talak yang jatuh pada saat sedang marah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemarahannya. Sebab marah memiliki tiga tingkatan: biasa, sedang, dan puncak kemarahan.

Pertama : marah biasa. Yaitu seseorang masih dapat mengendalikan dirinya, akal dan ucapannya. Artinya ucapan tersebut masih dianggap sebagai tindakan yang wajar sebagaimana orang yang tidak marah.

Kedua: marah sedang. Yaitu marah yang tidak sampai pada puncak kemarahan, tetapi seseorang tidak kuasa mengendalikan diri sehingga terucap dari mulutnya ucapan talak.

Ketiga: puncak kemarahan, sehingga seseorang sama sekali tidak sadar terhadap sesuatu yang diucapkannya dan tidak tahu sedang berada dimana. Ini mungkin terjadi pada seseorang yang mempunyai perasaan sensitif, sehingga tatkala marah tidak sadar apa yang diucapkannya dan tidak bisa mengendalikan diri serta tidak tahu lagi berada dimana, sehingga tidak bisa mengenal istri dan orang sekitarnya.

Tingkatan marah yang pertama, diangap seperti orang marah pada umumnya dan masih terkena beban hukum (jatuh talak).

Tingkatan marah yang terakhir seluruh ulama sepakat bahwa orang yang sangat marah dan kehilangan kesadaran maupun ingatan maka ucapannnya dianggap seperti ucapannya orang gila. Dan tindakannya dianggap sia-sia karena tidak memiliki keseimbangan lagi (akal sehat).

Adapun tingkatan marah yan kedua, yaitu seseorang tahu apa yang diucapkanya akan tetapi tidak kuasa menahan diri dan seakan-akan faktor luar yang memaksanya untuk mengucapkan talak, maka ulama berbeda penapdat dalam masalah ini. Dan pendapat yang mendekati kebenaran bahwa talak talak dalam keadaan seperti itu tidak dianggap jatuh talak. (Durus wa Fatawa Al Haramil Makki, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3:258-260). wallahua’lam

****
Sumber: Majalah Al Mawaddah vol.87 Ramadhan 1436H
Artikel wanitasalihah.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.