Teladan Para Wanita dalam Dakwah


Sebagian orang meremehkan peran kaum wanita dalam dakwah. Padahal wanita salaf telah mengukir taladan terbaik dalam amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak pernah dilakukan oleh wanita pada umat manapun sepanjang jaman. Sebab generasi sahabat adalah sebaik-baik umat secara umum maupun secara khusus, baik dalam keimanan, ketaqwaan, kesabaran, keikhlasan, hijrah, jihad, dakwah, ibadah dan lainnya.

Mereka melakukan nasehat kapan saja, dimana saja dan kapan saja. Para wanita salaf melakukan dakwah kepada para kerabat, teman, kenalan, perorangan maupun kelompok masyarakat, rakyat biasa ataupun kepada para ulama dan para penguasa, yang dekat ataupun yang jauh tanpa terhalang olehnya kekerabatan, persahabatan ataupun hubungan apapun, tidak terhalang karena keilmuan dan ketinggian kedudukan seseorang.

Berbeda dengan para pecinta dakwah dan orang-orang yang bersemangat memberikan pengajian dan ceramah di jaman kita sekarang. Dimana seseorang bersemangat, tatkala melihat kemungkaran baik karena perintah Allah yang ditinggalkan atau laranganNya yang dikerjakan, dia akan mengingkari jika pelakunya orang lain dan diam jika pelakunya kerabat sendiri atau temannya.

Contohnya: seseorang yang sedang berbelanja di toko umum sementara sang penjual berkopiah putih atau berjilbab dia segera menegur, “Kenapa Anda menjual rokok padahal bapak sudah haji atau Ibu sudah berjilbab?”
Adapun bila ia berkunjung ke rumah saudara, paman, bibinya yang menjual rokok diapun hanya pura-pura tidak tahu, tidak terus terang atau diam. Apalagi kerabatnya tersebut berbuat baik atau menjanjikan hadiah kepadanya. Maka kebaikan dan janji tersebut akan menghalanginya dari nasehat dan dakwah. Sementara para salaf justru menjadikan kebaikan tersebut sebagai sebab yang sangat baik dan sarana paling tepat untuk menasehati.

Tatkala Abu Thalhah radhiyallahu’anhu belum masuk Islam dan beliau seorang yang sangat kaya raya, beliau menjanjikan nikah dan harta yang banyak kepada Ummu Sulaim radhiyallahu’anha. Maka Ummu Sulaim radhiyallahu’anha berkata,

يا أبا طلحة ما مثلك يرد ولكنك امرؤ كافر وأنا امرأة مسلمة

Laki-laki seperti kamu tidak akan ada wanita yang menolaknya, wahai Abu Thalhah. Tetapi kamu kafr sedang aku wanita muslimah.

Allahu Akbar!
Seakan Ummu Sulaim radhiyallahu’anha menasehatkan, mengajarkan dan memberikan teladan kepada wanita jaman sekarang untuk bersikap benar dalam menghadapi lamaran orang kafir ataupun laki-laki yang tidak shalih.

Bagiamana sikap wanita jaman sekarang apabla ada laki-laki kafir yang menjanjikan untuk menikahinya, bisa jadi wanita tersebut spontan menerima tanpa melihat apakah dia kafir atau beriman, apakah dia shalih atau ahli maksiat, apakah dia ahli shalat ataukah tidak. Bahkan dia langsung menerima lamarannya sekalipun mengetahui bahwa laki-laki tersebut tidak menunaikan shalat karena yang dipikirannya hanyalah harta dan dunia.

Benar sekali perkataan Ummu Sulaim radhiyallahu’anha bahwa laki-laki semacam kamu pasti banyak wanita yang tertarik kepadamu. Tetapi ada sesuatu yang harus diutamakan dan ditimbang yaitu aku wanita muslimah sedangkan kamu kafir. Aku wanita shalihah ahli shalat sedangkan kamu laki-laki kafir tidak menunaikan shalat.

Dakwah Wanita terhadap Para Ulama

Wanita salaf tidak hanya memberikan nasehat kepada anak, suami, kerabat, teman tetapi mereka juga berdakwah kepada para ulama.

Pertama,
Tatkala sampai kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha bahwa Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata,
Sesungguhnya mayit diadzab dengan sebab tangisan keluarganya atas kematiannya.
Maka ‘Aisyah radhiyallahu’anha mengingkari seraya berkata,

رحم الله أبا عبد الرحمن سمع شيئاً فلم يحفظه إنما مرت على رسول الله جنازة يهودي وهم يبكون عليه فقال: أنتم تبكون وانه ليعذب

Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), dia mendengar sesuatu tetapi tidak memahaminya dengan baik. Sesungguhnya pernah lewat jenazah yahudi dihadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang mereka menangisinya. Maka kata Rasulullah shallallahu’alaihiw asallam, ‘Kalian menangisinya padahal dia diadzab.’” (HR. Muslim)

Kedua,
‘Aisyah radhiyallahu’anha juga mengingkari Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash radhiyallahu’anhuma dalam fatwanya yang memerintahkan wanita yang mandi (wajib) untuk mengurai rambutnya. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

يا عجباً لـعبد الله بن عمرو يأمر النساء أن ينقضن شعورهن، أفلا يأمرهن أن يحلقن شعورهن؟!قد كنت أغتسل أنا ورسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد، فلا أزيد على أن أفرغ على رأسي ثلاث إفراغات )

Sungguh menakjubkan Ibnu Amr ini memerintahkan kaum wanita untuk mengurai rambutnya ketika mandi (wajib). Kenapa dia tidak menyuruh mereka untuk mencukur rambut mereka? Sungguh aku mandi bersama Rasulullah shallallahu’alahi wasallam pada satu wadah dan aku hanya menuangkan air di rambutku tiga kali tanpa mengurai jalinan rambutku.”

Jangan disangka ‘Aisyah radjiyallahu’anha melakukan ini karena lebih tua umurnya dari Ibnu Umar atau Ibnu Amr radhiyallahu’anhuma. Bahkan sebaliknya keduanya lebih tua dari ‘Asiyah dan keduanya termasuk ulama besar para sahabat.

Faedah:

1. Pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar kepada siapapun tanpa kecuali.
2. Keharusan berdalil dengan hadis atau perbuatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Berhujjah dengan hadis memutus segala perselisihan dan membatalkan pendapat apapun dari siapapun.
3. Orang yang mengetahui keadaan Rasulullah shallallahu’alahi wasallam dan mengetahui peristiwa yang terjadi dengan detail tentu lebih paham dari orang yang hanya mendengar atau melihat dari jauh secara global.
4. Sealim apapun seseorang pasti ada kesalahannya daam perkataan atau perbuatan.
5. Seseorang terkadang berhujah dengan dalil Kitab dan Sunnah namun pemahamannya terhadap keduanya tidak benar. Inilah sumber kesalahan yaitu tidak memiliki dalil atau memiliki dalil namun salah dalam memahaminya.
6. Adab dalam mengingkari ulama yaitu dengan mendoakan dan memberikan udzur seperti perkataan ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Dia punya dalil tapi kurang memahaminya atau dia lupa.” Dan tidak mengatakan seperti ucapan, “Dia bodoh tak tahu apa-apa.”

Dakwah kepada masyarakat umum

Adapun dakwah wanita kepada masyarakat umum contohnya seperti yang dilakukan oleh ‘Asiyah radhiyallahu’anha tatkala Sa’ad ibn Abi Waqqash radhiyallhu’anhu wafat maka para ibunda kaum mukminin (ummahatul mukminin) memerintahkan agar jenazahnya dilewatkan di masjid supaya mereka bisa menshalatinya. Maka sampailah berita, bahwa orang-orang mengingkari perbuatan mereka dengan dalih bahwa tidak pernah jenazah dimasukkan ke masjid. Lantas ‘Aisyah radhiyallahu’anha menjawab,

ما أسرع الناس إلى أن يعيبوا ما لا علم لهم به عابوا علينا أن يمر بجنازة في المسجد وما صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم على سهيل بن بيضاء إلا في جوف المسجد

Alangkah cepatnya manusia mencela sesuatu yang mereka tidak ketahui, mereka mencela kami karena memasukkan jenazah ke dalam masjid. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidaklah menshalati jenazah Suhail bin Baidha’ kecuali di dalam masjid.” (HR. Muslim no.973)

Faedah:
1. Hendaknya kita tidak tergesa-gesa berkata tanpa ilmu dan selalu menjaga adab terhadap ahli ilmu. Seharusnya kita tidak mengingkari sesuatu yang tidak kita ketahui dalilnya akan tetapi bertanya apa dalil perbuatan tersebut. Seperti halnya perbuatan yang dilakukan‘Aisyah radhiyallahu’anha, memasukkan jenazah ke dalam masjid apa yang menjadi hujjah beliau sehingga berbuat demikian? sehingga hal ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi umat.
2. Siapa pun yang mengatakan bahwa suatu perkara ada syariatnya atau tidak ada syariatnya maka wajib mendatangkan dalil. Namun jika dia tidak menyampaikan dalil, itu berarti dia hanya menyampaikan apa yang dia ketahui, bisa benar dan bisa salah, bisa diterima dan bisa ditolak.
3. Siapa yang dekat dengan para ulama dan kitab-kitab peninggalan mereka serta bersungguh-sungguh menuntut ilmu maka dia memiliki ilmu yang lebih kuat daripada yang lain.

‘Aisyah radhiyallahu’anha juga mengingkari tatkala sebagian masyarakat menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu diwasiati oleh Rasulullah shallallahu’alaihi waslalam untuk menjadi khalifah sepeninggalnya. Maka ‘Aisyah radhiyallahu’anha menyanggahnya,
Kapan dia diwasiati? Sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meninggal dipangkuanku. Lantas kapan beliau mewasiatkan hal itu?” (HR. Bukhari no 1636)

Nasehat terhadap para pemimpin

Dalam Islam, agama adalah nasehat, dakwah, dan pengajaran kepada siapapun. Dan hal ini menjadi kewajiban setiap orang sesuai dengan kemampuannya.
Wanita salaf menunaikan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya kepada para pemimpin. Hak kepemimpinan hanya bagi kaum rijal (laki-laki), tetapi menasehati pemimpin merupakan kewajiban kaum laki-laki dan wanita.
Wanita harus banyak tinggal di dalam rumah, tetapi kewajiban dakwah tidak terbatas pada rumah dan tidak terhalang dari para penguasa tanpa harus terlibat dalam musyawarah dan urusan kenegaraan, tanpa harus bergaul bebas dengan laki-laki dalam segala bidang.
Wanita melakukan nasehat kepada penguasa tanpa harus bergabung dengan mereka di kantor atau dewan atau pertemuan dan majelis-majelis umum. Tetapi lewat berita yang sampai kepada mereka atau melihat dan mendengar para pemimpin dalam khutbah Jum’at dan semisalnya, atau kebetulan bertamu di rumah mereka dan melihat atau mendengar kesalahan yang perlu diluruskan atau sesuatu yang perlu dinasehatkan.

Diantara contoh nasehat wanita salaf kepada para penguasa sebagai berikut:

1. Keponakan Amir (Gubernur) Madinah, Marwan Ibu Hakam dicerai oleh suaminya lalu ayahnya memindahkan putrinya tersebut dari rumah suaminya ke rumah ayahnya. Maka ‘Asiyah radhiyallahu’anha memerintahkan Amir yaitu Marwan agar mengembalikan keponakannya ke rumah suaminya.
2. Pernah Abdul Malik ibnu Marwan mengundang Ummu Darda’ radhiyallahu’anha untuk menanyakan periha Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Sementara Ummu Darda’ bermalam di rumah istri-istri Abdul Malik Ibnu Marwan. Suatu hari, Abdul Malik memanggil pelayannya namun ia terlambat datang lantas Abdul Malik melaknatnya. Maka Ummu Darda’ radhiyallahu’anha melarangnya dengan membawakan hadis Rasulullah shallallahu’alaihiw asallam tentang larangan melaknat.

Faedah:
1. Tingginya wibawa para wanita sahabat (shahabiyyah) di hadapan para pemimpin. Dan ketahuilah wibawa sebabnya karena ilmu dan amal shalih. Setiap kali seseorang semakin kuat ilmu dan amal shalihnya semakin kuat wibawanya. Bukan wibawa palsu dan buatan yang dibangun diatas kekuasaan dan harta tanpa ilmu dan tanpa keshalihan. Hal semacam ini biasanya wibawa musiman dan hanya kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu.
2. Salaf shalih hidup demi mengharap wajah Allah Azza wa Jalla. Baik yang memimpin dan yang dipimpin sama yaitu hanya takut dan mengharap wajah Allah Azza wa Jalla. Tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin dalam agama Allah dan dalam mu’amalah berupa nasehat. Tidak ada perbedaan pemimpin dan yang dipimpin kecuali dalam adab-adab syar’i. Karena itu pemimpin siap dinasehati sebagaimana ia juga siap menasehati. Demikian pula rakyat harus siap dinasehati dan siap menasehati.
3. Status seseorang sebagai tamu di rumah penguasa dan kedudukan seorang penguasa tidak menghalangi untuk memberikan nasehat kepadanya. (Mas’uliyyat Nisa’ fi Amri bil Ma’ruf wa nAhyi anil Munkar, Dr. Fadhi Ilahi Dzahir)

Semoga kita semua dapat meneladani kegigihan para shahabiyah dalam berdakwah.

****
Sumber: Artikel “Teladan Para Wanita dalam Dakwah” oleh Ustadz Abu Hafshah Abdurrahman Al Buthani hafidzahullah. Dimuat di majalah Al-Furqan Edisi 7 Tahun ke 14-152. Dengam sedikit perubahan dan penambahan teks arab oleh redaksi wanitasalihah.com
Artikel wanitasalihah.Com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.