Nikah Mut’ah yang Dihalalkan di Awal Masa Islam


Apa itu mut’ah?

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. (Mu’jamul Wasith, 2:852)

Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu. Pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah maupun tempat tinggal dan tanpa adanya hak saling mewarisi jika salah satu keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. (Lihat Fathul Bari, 9:167, Syarah Shahih Muslim, 3:554 dan Jami’ Ahkamin Nisa’, 3:169)

Pada awal Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadis diantaranya:

1. Hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

كنّا نغزو مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ليس لنا نساء فقلنا ألا نستخصي؟ فنهانا عن ذلك ثمّ رخّص لنا أن ننكح المرأة بالثّوب إلى أجل

Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedangkan kami tidak membawa serta istri-istri kami maka kami bertanya, “Bolehkah kami berkebiri?” Namun Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarangnya. Kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu.” (HR. Bukhari no. 5075 dan Muslim no. 1404)

2. Hadis Jabir dan Salamah radhiyallahu’anhuma

Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ berkata,

كنا في جيش فأتانا رسول رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقال: إنه قد أذن لكم أن تستمتعوا فاستمتعوا

“Pernah dalam suatu peperangan, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mendatangi kami seraya bersabda, ‘Telah diijinkan bagi kalian untuk menikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah.'” (HR. Bukhari no.5117)

Namun hukum ini telah dimansukh (dihapus) dengan larangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk menikah dengan cara mut’ah.

Diantara hadis yang menyatakan dengan jelas larangan nikah mut’ah:

1. Hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu

Dari Ali bin Abi Thalib berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النساء وعن أكل لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada waktu perang Khaibar.” (HR. Bukhari no. 5115 dab Muslim no. 1407)

2. Hadi Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani radhiyallahu’anhuma

Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata,

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بالمتعة عام الفتح حين دخلنا مكة ثم لم نخرج منها حتى نهانا عنها وفي رواية
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، فَمَنْ كَانَ عَنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَه

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada tahun fathu Makkah saat kami masuk makah kemudian beliau melarang kami melakukan nikah mut’ah sebelum kami keluar dari Makkah. Dan dalam riwayat lain, Rasulullah shallalllahu’alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya dahulu mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari hasil nikah mut’ah maka hendaklah diceraikan.” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3:404 Thabrani dalam Al-Kabir 6536, Baihaqi 7:202, Ad Darimi 2:140)

3. Hadis Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhu

Dari Salamah bin Al-Akwa’ berkata,

رخص لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس في متعة النساء ثلاثًا ثم نهانا عنه

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberikan keringan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang Authos kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim no.1023)

Seperti apa nikah mut’ah yang dulu pernah dihalalkan?

Ternyata nikah mut’ah yang dulu pernah dihalalkan diawal islam tak seperti nikah mut’ah ala syiah yang sudah banyak meracuni kamu muslimin.

Nikah mut’ah yang dulu pernah dihalalkan namun kemudian diharamkan, harus memenuhi kriteria berikut:

1. Orang yang akan melakukan nikah mut’ah tidak sedang berada di tempat tinggalnya akan tetapi sedang melakukan safar maupun pada saat jihad yang mana dia tidak bisa membawa istrinya. Jadi dihalakannya nikah mut’ah diawal Islam adalah saat terpaksa bukan dalam keadaan lapang.
Hal ini ditunjukkah oleh hadis Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu’anhum. Dan ini diperkuat oleh riwayat Imam Bukhari no. 5116 dari Abu Jamrah berkata,
Saya mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah lalu beliau membolehkannya, maka ada bekas budak beliau yang berkata, “Itu hanya dalam keadaan terpakasa dan saat wanita sangat sedikit.” Maka Ibnu Abbas menjawab, “Benar”.
Al-Qadi Al-Iyyadh berkata, “Semua hadis diatas tidak ada yang menunjukkan bahwa mut’ah dilakukan saat berada di tempat tinggalnya, namun dilakukan saat dalam perjalanan perang atau saat terpaksa sementata tidak ada istri yang bersamanya.” ( Syarah Shahih Muslim, 9:1179)

2. Harus memenuhi syarat akad nikah yang sah yaitu izin wali wanita, adanya dua orang saksi, adanya mahar serta apabila telah selesai masa mut’ah si wanita wajib melakukan iddah sehingga jelas apakah dia hmail ataukah tidak? Karena jika hamil maka anak itu dinasabkan kepada bapakanya. (Lihat Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah oleh Syaikh Abdul Karim Zaidan, 6:174)

Imam Ibnu Athiyah berkata, “Nikah mut’ah yang pernah diperbolehkan adalah apabila seorang laki-lak menikahi wanita dengan dua orang saksi dan ijin wali sampai batas waktu tertentu, hanya saja tanpa hak saling mewarisi antara keduanya namun tetap harus dengan mahar atas kesepakatan kedunya. Dan apabila telah selesai masanya maka suami tidak lagi mempunyai hak atas istrinya dan harus istibra’ rahimnya ( mengosongkan rahim dari janin, hal ini diketahui dengan datang nya haidh atau melahirkan) karena si anak yang terlahir akan dinasabkan kepada ayah tapi apabila tidak hamil maka dia boleh menikah dengan laki-laki lainnya.”

Al- Qurthubi berkata, “Apabila nikah mut’ah tanpa saksi dan wali maka hal ini adalah perzinaan, sama sekali tidak diperbolehkan dalam Islam.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5:132)

Praktek nikah mut’ah di awal Islam berbeda jauh dengan praktek nikah mut’ah yang dilakukan sebagian orang sekarang ini karena memang mereka mengadopsi dari mut’ah syiah yang mana tidak di syaratkan adanya wali dan saksi. (Al-Mufashal, 6:175-177 dan An-Nihayah oleh Ath-Thusi hal.489)

Syaikh Abdul Karim Zaidan berkata, “Setelah memaparkan model nikah mut’ah Syiah Ja’fariyyah yang kita ambil dari kitab-kitab monumental mereka maka sangat jelas dan gamblang akan kebathilan nikah ini dan itu bukan mut’ah yang pernah dihalalkan di awal Islam.” (Al-Mufashal, 6:177)

***
Sumber : Artikel “Mut’ah Zina Berkedok Nikah” oleh Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, dimuat di majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun III.
Wanitasalihah.Com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.