Keluar Darah Haid Saat Berhubungan Badan


Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan suami saya agar ia dapat bertaubat kepada Allah. Kami pernah bersetubuh kemudian usai berhubungan badan, nampak permulaan darah haid telah keluar.

Jawaban Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjaid hafidzahullah

Alhamdulillah,
Bila seorang laki-laki berhubungan badan dengan istrinya sementara ia tidak tahu bahwa istrinya tersebut mengalami haid maka tidak ada dosa baginya.
Terdapat hadis dari Abu dzar Al Ghifari berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku kesalahan (yang tidak disengaja), lupa dan bila mereka dipaksa melakukan perbuatan dosa.” (HR. Ibnu Majah no. 2033 dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah n0. 1662)

Akan tetapi wajib bagi istri menjelaskan keadaan dirinya kepada suaminya, hendaknya si istri memberitahu kepada suami bahwa darah haid telah keluar. Karena terkadang seorang laki-laki tidak mengetahui hal ini kemudian iapun menggauli istrinya sementara si istri dalam keadaan haid. Padahal perbuatan ini haram secara syariat. Jika kondisi demikian maka si istri telah berdosa (karena tahu sedang haid dan tidak memberitahu suaminya -pen). Darah haid sesuatu yang dikenal di kalangan wanita. Kapanpun darah tersebut keluar maka ia disebut wanita haid.
Adapun jika kejadian diatas terjadi tanpa sepengetahuan kedua pihak maka tidak ada dosa bagi kedunya. Karena ketidaktahuan dan ketidaksengajaan.

Sumber:islamqa.info

Di fatwa lain beliau menjelaskan,
Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya sementara dia tidak tahu bahwa istrinya tersebut sedang haid demikian pula si istri juga tidak tahu bahwa dirinya sedang haid, maka tidak ada dosa bagi kedunya. Dikarenakan keduanya tidak menyengaja melakukan jimak saat haid. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu bersalah padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzab:5)

An Nawawi berkata,

فإن كان ناسيا أو جاهلا بوجود الحيض ، أو جاهلا بتحريمه ، أو مكرها : فلا إثم عليه ولا كفارة ، وإن وطئها عامدا ، عالما بالحيض والتحريم ، مختارا ، فقد ارتكب معصية كبيرة ، وتجب عليه التوبة

“Bila seorang suami lupa atau tidak tahu keberadaan darah haid, atau tidak tahu hukum haram (jimak ketika haid) atau dipaksa (orang lain untuk berbuat haram) maka tidak ada dosa baginya dan tidak ada kafarah. Adapun bila seorang suami menggauli istrinya dengan sengaja, dalam kondisi tahu bahwa istrinya haid dan tahu hukumnya haram, tidak ada paksaan orang lain maka sungguh dia telah telah melakukan kemaksiatan yang besar dosanya, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah.” (Syarh Muslim)

Sumber:islamqa.info

Pertanyaaan:
Saya seorang pemuda 26 tahun dan alhamdulillah saya telah menikah sejak dua bulan yang lalu. Setelah menikmati malam pertama selama 4 hari, istri saya mengalami haid. Oleh karena itu saya tidak menggaulinya sampailah hari dimana istri saya berkata kepadaku bahwa haid telah berhenti dan ia tidak lagi melihat darah sejak dua hari sebelumnya. Akupun bertanya padanya, apakah emang sudah pasti haid telah berhenti? Istri saya menjawab, ‘Iya benar.’Berdasakan hal ini saya pun menggaulinya. Akan tetapi saya mendapati sedikit darah di dzakar saya. Karena itu saya berhenti menyetubuhinya dan mandi. Dan saya pun menanyakan padanya, diapun meyakinkanku bahwa ia tidak tahu menahu soal darah itu dan tidak melihat darah sejak kemarinnya.
Saya mengharap bantuan penjelasan. Jika saya telah melakukan perbuatan dosa apa kafarah bagi saya? Apakah istri saya juga berdosa dan wajib membayar kafar atau tidak? Syukraan atas waktu yang diberikan.

Jawaban Syaikh Khalid bin Suud Al-Bulihud

Alhamdulillah,
Haram bagi seorang suami menggauli kemaluan istrinya yang sedang haid. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)

Sunnah Ash Shahihah telah menjelaskan tafsir ayat diatas tentang larangan mendekat istri yang haid maksudnya adalah khusus melakukan hubungan badan di kemaluan.
Para ulama telah sepakat keharaman perbuatan tersebut. Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid dengan sengaja, dalam keadaan tahu (istri sedang haid dan tahu hukumnya haram) maka dia telah berdosa. Wajib baginya bertaubat dan memohon ampun dari dosa besar ini.

Para ulama pakar Fikih berselisih pendapat tentang kewajiban kafarah bagi suami. Imam Ahmad berpendapat wajib bagi suami bersedekah satu dinar atau separuh dinar. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ahlussunan dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau pernah menggauli istri beliau yang sedang haid, kemudian beliau bersedekah satu atau setengah dinar dan dalam lafadz Tirmidzi dinyatakan,

إذا كان دماً أحمر فدينار وإن كان دماً أصفر فنصف دينار

“Jika darah haidnya berwarna merah, bersedekah satu dinar. Jika darah haidnya berwarna kuning bersedekah setengah dinar.”

Mayoritas ulama berpendapat tidak ada kewajiban membayar kafarah dan mencukupkan untuk bertaubat. Karena dalil (ayat diatas) hanya menyebutkan larangan jimak ketika haid dan tidak menyebutkan kafarah.

Adapun hadis Ibnu Abbas diatas adalah hadis yang ma’lul menurut para imam ahli hadis (Hadis ma’lul adalah salah satu jenis hadis lemah karena di dalamnya terdapat cacat baik dari sisi sanad ataupun matan hadis-pen). Maka hadis ini tidak boleh dinilai sebagai hadis marfu’, yang sampai Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Inilah pendapat yang benar. Karena hukum asalnya seseorang terlepas dari tanggungan dan tidak menyibukkannya dengan sesuatu kecuali dengan dalil yang selamat dari perbincangan ulama (dalil shahih).

Dan yang nampak dari penjelasan Anda diatas bahwa engkau termasuk orang yang diberi udzur (dimaafkan) atas perbuatanmu. Karena perbuatan tersebut Anda lakukan karena kesalahan (tanpa disengaja) dan ketidaktahuan akan kondisi istri Anda. Anda tidak berdosa dan tidak ada kewajiban apapun insyaallah. Karena Allah memaafkan orang yang bersalah (tanpa sengaja) dan tidaktahu.
Demikianpula istri Anda, telah melakukan kesalahan tanpa sengaja yaitu tergesa-gesa suci sebelum melihat tanda suci berupa keluarnya qashshatul baidha (cairan putih) atau keringnya rahim. Istri Anda diberi udzu (dimaafkan) insyaallah karena ia tidak sengaja melakukannya, bahkan hal ini terjadi karena ketidaktahuan dan sedikitnya pengetahuannya.

Diperbolehkan bagi seorang suami menikmati seluruh tubuh istrinya yang sedang haid selain pada kemaluan, menurut pendapat mayoritas ulama pakar Fikih. Berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu’alaihi wasallam terhadap istri-istri beliau radhiyallahu’anhunna, sebagaimana yang ditetapkan dalam sunnah shahihah.

وأخزى الله من يذكرهن بسوء في الدنيا ويوم يقوم الأشهاد.والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم.

Semoga Allah menghinakan orang-orang yang menyebut istri-istri Nabi dengan keburukan di dunia dan di hari kiamat. Wallahua’lam dan semoga shalawat dan salam tercurah bagi Muhammad, keluarga beliau dan para sahabat“.

Sumber: saaid.net

****
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Wanitasalihah.com
Artikel wanitasalihah.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.