Fikih Berdandan [2] Dandanan untuk Rambut Rambut termasuk satu nikmat diantara nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-Nya. Rambut menjadi bukti akan keindahan dan kecantikan seseseorang. Kepala tanpa rambut termasuk suatu aib dan kekurangan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang kisah tiga orang Bani Israil. Ada yang berkulit belang, botak, dan satu lagi buta. Allah bermaksud menguji mereka. Allah mengirimkan malaikat kepada mereka. Malaikat mendatangi Si Botak, “Apakah sesuatu yang paling engkau cintai?” Si Botak pun menjawab, “Rambut yang indah dan aku ingin agar Allah menghilangkan botak ku ini. Sungguh orang-orang jijik karenanya.” Lalu malaikat mengusap kepala si botak, menghilangkan kebotakannya, dan menggantinya dengan rambut yang indah. Nabi shallallahu’alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita memuliakan rambut, membersihkan, dan menyisirnya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu beliau berkata, ‘”Rasulullah shallalllahu ’alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa memiliki rambut hendaknya ia memuliakannya.’” (As Silsilah Ash Shahihah) Akan tetapi jangan sampai seseorang terlalu berlebihan dalam perkara dunianya (terlalu berlebihan memberi perhatian kepada rambut). Makruh Menyisir Rambut Setiap Hari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, “Janganlah seorang suami mandi dengan air sisa istrinya. Begitupula janganlah seorang istri mandi dengan sisa air suaminya. Janganlah kencing di tempat pemandianya dan janganlah menyisir rambut setiap hari.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad shahih. Sementara Syaikh Muqbil memasukkan hadis ini dalam Al Jami’ Ash Shahih) Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba dituntut untuk memuliakan rambutnya, namun dilarang berlebih-lebihan dalam bersenang-senang. Hendaknya ia memuliakan dan merawat rambutnya, namun janganlah menjadikan senang-senang (menyisir rambut) sebagai kegiatan nya terus-menerus. Akan tetapi hendaknya ia selang seling, sehari menyisir sehari tidak menyisir. Pendapat ini lebih tepat menyikapi dua hadist di atas. Wabillahittaufiq. (Hasyiah Aunil Ma’bud, 11:147) Ibnu Baththal berkata, “Attarjil maknanya menyisir rambut kepala dan rambut jenggot, termasuk meminyaki. Ini semua termasuk menjaga kebersihan rambut yang disunnahkan syariat. Allah Ta’ala berfirman, خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “Ambillah perhiasan kalian ketika setiap hendak ke masjid.” (Qs Al A’raf: 31) Adapun hadis larangan menyisir rambut kecuali ghibban (selang seling, sehari menyisir sehari tidak) maksudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam memberi perhatian kepada rambut. Abu Umamah bin Tsa’labah telah meriwayatkan dengan marfu’, اللذيذة من الإيمان ‘Berpakaian sederhana itu bagian dari iman.” Ibnu Hajah berkata, ‘Maksud dari tampilan fisik yang sederhana adalah meninggalkan untuk bernikmat-nikmat dan berlebih-lebihan dalam pakaian, serta anjuran untuk tawadhu (sederhana) meskipun memiliki kemampuan yang lebih. Bukan karena tujuan mengingkari nikmat Allah kepadanya. (Fathul Baari, hal. 5962) Bagaimana Dengan Wanita? Larangan (hukum makruh) menyisir setiap hari ini ada khilaf, apakah larangan ini khusus untuk laki-laki saja atau untuk wanita juga. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menyisir setiap hari khusus laki-laki, sedangkan perempuan tidak dilarang, karena wanita dituntut untuk tampil indah di hadapan suaminya. Demikian fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang masalah ini dalam Fatawa Jeddah no. 19b. An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (14/137) : قَالَ الْعُلَمَاء : فَالتَّرْجِيل مُسْتَحَبّ لِلنِّسَاءِ مُطْلَقًا ، وَلِلرَّجُلِ بِشَرْطِ أَلَّا يَفْعَلهُ كُلّ يَوْم أَوْ كُلّ يَوْمَيْنِ وَنَحْو ذَلِكَ “Para ulama berkata; menyisir hukumnya mustahab (disukai) bagi wanita secara muthlak, dan bagi laki-laki (juga disukai, pent) dengan syarat tidak melakukannya setiap hari atau tiap 2 hari atau yang semisal itu.” Dan kelihatannya Mushthofa al-Adawi juga menyetujui perkataan an-Nawawi dalam kitab Jami’ Ahkamin Nisaa’ (4/424). Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa makruhnya menyisir tiap hari juga berlaku bagi wanita, berdasarkan dengan keumuman larangan tersebut. Al-Adzim al-Abadi berkata dalam Aunul Ma’bud: وَلَا فَرْق بَيْن الرَّجُل وَالْمَرْأَة لَكِنْ الْكَرَاهَة فِيهَا أَخَفّ لِأَنَّ بَاب التَّزْيِين فِي حَقّهنَّ أَوْسَع مِنْهُ فِي حَقّ الرِّجَال وَمَعَ هَذَا فَتَرْك التَّرَفُّه وَالتَّنَعُّم لَهُنَّ أَوْلَى . كَذَا فِي شَرْح الْمُنَاوِيّ وَاَللَّه أَعْلَم “Dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, akan tetapi ke-makruh-an bagi wanita lebih ringan karena masalah berhias bagi wanita lebih luas perkaranya dibandingkan laki-laki, oleh karena itu meninggalkan bermewah-mewah dan bernikmat-nikmat bagi para wanita adalah lebih utama. Demikianlah dalam syarahnya al-Munawi, Wallahu A’lam.” Sunnah Menyisir dengan Tangan Kanan Diantara sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah menyisir dengan tangan kanan dan memulai menyisir dari rambut bagian kanan. Imam Bukhari ( 168) dan Muslim (268) meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari hadis ‘Aisyah radhyallahu’anha. Bahwasnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam suka menggunakan tangan kanan saat memakai sandal, nyisir, bersuci dan dalam semua keadaan.” Al Hafidz berkata, “Menggunakan tangan kanan saat menyisir dan memulai dari dari kepala sisi kanan.” (Al Fath hal. 5926). *** Disusun oleh Tim Penerjemah Wanitasalihah.Com Rujukan: Al Fatwa Fi Ziinati Binti Hawa, Ummu Slaamah Assalafiyyah Al Abbasiyyah September 18, 2024 by WanitaSalihah 0 comments 288 viewson Fiqih, Ruang Wanita Share this post Facebook Twitter Google plus Pinterest Linkedin Mail this article Print this article Tags: Berhias, Fikih Berdandan, Hukum Menyisir Rambut, Mengurus Rambut Next: Perbedaan Makna Hadits, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi Beserta Perbedaan Ayat Al Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabi Previous: Selalu Meminta Tolong Kepada Allah (Istianah) Untuk Melakukan Amal Ibadah