Mengobral Kata ‘Uhibbuki Fillah’


Oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafidzahullah

Pertanyaan:
Aku ingin menyampaikan pertanyaan. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

“Ada seorang laki-laki disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian lewatlah seorang laki-laki disampingnya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah sungguh aku mencintai orang ini.’ Beliau shallallahu’alaihi wasallam menjawab,  ‘Apakah engkau telah memberitahunya?’ Dia berkata,  ‘Belum’
Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan,  ‘Sampaikan padanya.’
Laki-laki tadi berkata,  baik. Lalu dia menyampaikan kepada temannya,  ‘Sungguh Aku mencintaimu karena Allah, ”
Temannya menjawab,”Semoga Allah mencintaimu karena engkau telah mencintaiku karena-Nya.'” 

Pertanyaannya apakah boleh jika aku katakan pada seorang muslimah,  ‘Aku mencintaimu karena Allah ?’

Jawab:
Alhamdulillah,

Pertama,
Hadits di atas yang disampaikan penanya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud No 5125. Imam Nawawi menilainya shahih dalam Riyadhush Shalihin. Demikian pula Al Albani menilainya hasan dalam Shahih Abi Dawud. Dan ada hadits lain dengan tema  yang sama. Silahkan cermati  penjelasan kedua hadits tersebut beserta catatan makna keduanya di soal jawab  no 115765.

Kedua,
Hukum asal mahabbah (rasa cinta) antara laki-laki dan perempuan hanya berlaku antara pasangan suami istri dan mahram. Adapun wanita yang tidak halal bagi seorang laki-laki maka kaidah yang diajarkan syariat, menutup pintu yang hubungan dan saling kenal diantara keduanya sebisa mungkin. Syariat juga menutup celah pintu fitnah dan tipu dayanya.

Al-Munaawi rahimahullah mengatakan,

“Makna Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

إذا أحب أحدكم عبداً

‘Jika salah seorang diantara kalian mencintai seorang hamba.’

Yaitu manusia. Yang dimaksudkan adalah seorang dari kaum muslimin baik dari kerabat dekat atau yang lainnya, laki-laki ataupun wanita. Akan tetapi yang nampak adalah pengecualian akan hal ini yaitu cinta khusus untuk istrinya atau mahramnya.” (Faidhul Qadiir,  1/319)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara dzahir hadits, (ketentuan) ini tidak berlaku untuk wanita. Karena lafadz ahadun memiliki makna waahid. Jika yang dimaksudkan adalah muannats (perempuan)  tentu lafadznya ihda [arab: احدى ].

Akan tetapi hadits ini tetap mencakup wanita berdasarkan keumuman. Dan makna seperti ini (ahadun mencakup wanita) merupakan perkara yang makruf dan dikenal (dalam kaidah-kaidah bahasa arab -pen). Pengkhusuaan lafadz ahadun karena umumnya yang diajak bicara Nabi adalah laki-laki. Oleh karena itu jika seorang wanita mencintai wanita lainnya karena Allah disunnahkan untuk mengungkapkan padanya.”
(Faidhul Qadiir 1/318)

Suatu hal yang wajar jika ada dua hati yang mencitai kebaikan akan saling terkait satu dengan yang lain dan bersemilah rasa cinta dalam hatinya. Perkara seperti ini tidak menjadi masalah, Insyaallah, selama masih dalam batas kaidah diatas. Yaitu cinta pada kebaikan dan pelakunya dan mencintai insan tersebut karena Allah.

Pahala bagi orang yang saling mencintai karena Allah meliputi laki-laki dan perempuan seluruhnya. Seorang mukmin mencintai semua mukmin dan mukminah karena Allah. Demikian juga seorang mukminah mencintai semua mukmin dan mukminah karena Allah. Kecintaan pada seorang (mukmin dan mukminah) makin bertambah seiring bertambahnya keimanan dan ketaatannya. Untuk meraih pahala cinta karena Allah tidak disyaratkan harus memberitahu yang bersangkutan.

Ketiga,
Jika pengungkapan rasa cinta antara laki-laki dan perempuan diyakini tidak menimbulkan fitnah maka tidak mengapa melakukannya insyaallah. Seperti seorang wanita mengungkapkan rasa cinta karena Allah kepada seorang syaikh yang sangat tua. Kasus semacam ini tidak menimbulkan fitnah dan hubungan cinta nafsu diantara mereka tidak mungkin terwujud. Kecintaan tersebut sebatas kalimat yang diucapkan saja, maka tidak masalah untuk menyampaikan perasaan itu, insyaallah.

Suatu ketika seorang penanya wanita mengirim surat kepada Syaikh Ibnu Baz rahimahullah melalui program acara “Nur Ala Darb“. Wanita tersebut berkata dalam suratnya, “Hanya Allah yang mengetahui betapa saya sangat mencintai Anda. Dan saya meminta pada Anda Wahai Syaikh kami agar berkenan memberi arahan berupa nasehat semata-mata karena wajah Allah, seperti halnya nasehat Anda pada salah seorang putri Anda sendiri yaitu tentang akhlak dan agamaku. Saya sangat mengharapkannya.

Beliau rahimahullah menjawab,

“Semoga Allah mencintaimu karena telah mencintaiku karena-Nya. Allah Ta’ala mengabarkan melalui lisan Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang-orang yang saling mencintai karena Allah termasuk salah satu dari tujuh golongan yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat tatkala tiada naungan kecuali naunganNya. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

 سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله

“Tujuh golongan yang akan Allah naungi di hari tatkala tidak ada naungan kecuali naunganNya.”

Kemudian beliau menyebut 2golongan diantara mereka,

تحابَّا في الله اجتمعا في ذلك وتفرقا عليه

“Dua orang yang saling mencitai karena Allah. Mereka bertemu dan berpisah karena Allah.”

Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

 يقول الله يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي

“Kelah di hari kiamat Allah Ta’ala berfirman,  ‘Dimanakah hamba-hamba-Ku yang saling mencintai karena keagungan-Ku di hari ini mereka akan Ku naungi dengan naungan-Ku, hari tiada naungan kecuali naungan-Ku.”

Maka saling mencintai karena Allah termasuk amalan iman yang utama dan bentuk pendekatan diri kepada Allah. (Nur Ala Darb, Kaset No 513 dan 593)

Keempat,
Sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengingatkan para hamba agar tidak bermudah-mudah dalam berbicara seperti ucapan ini (uhibbuki fillah). Bisa jadi setan membisikkan padanya dengan alasan ‘Ini bentuk cinta karena Allah’, atau ‘wanita ini jauh darimu tidak mungkin akan timbul fitnah’ atau ‘Dia jauh lebih tua darimu’ maka betapa banyak orang terbuai rayuan setan dengan dalih semacam ini hingga akhirnya agama dan dunianya rusak.

فلكل ساقطة في الحي لاقطة وكل كاسدة يوما لها سوق

“Setiap yang terjatuh ada saatnya akan diambil…
Setiap barang tak laku ada saatnya akan terjual…
Setiap pasar yang sepi ada hari dimana banyak pembeli”

Betapa banyak laki-laki jatuh hati pada wanita yang belum pernah dilihatnya…
Hingga hatinya buta tentang kondisi sebenarnya…
Terkadang… seandainya sebelum hatinya terjerat dia melihat dahulu wanita idamannya itu… pasti dia akan lari menjauh sekencang-kencangnya.
Terkadang telinga lebih dulu jatuh cinta sebelum mata…

Para ulama rahimahumullah telah memperingatkan perkara ini sampai-sampai mereka melarang bertasymit (mendoakan yarhamukillah)  pada seorang gadis yang tengah bersin…melarang mengucapkan salam dan ta’ziyah padanya, untuk para laki-laki yang bukan mahramnya…

Larangan ini semata-mata karena takut fitnah yang akan menimpa keduanya. Maka kalimat ini (uhibbuki fillah) tentu lebih terlarang untuk diucapkan.

Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (25/166), para ulama mengatakan, “Menjawab salam dari seorang wanita yang memberi salam hukumnya wajib. Adapun jika wanita tersebut seorang gadis dan ditakutkan timbul fitnah karenanya atau wanita itu sendiri nantinya juga terfitnah dengan orang yang memberinya ucapan salam maka para ulama madzab Malikiyyah,  Syafi’iyyah dan Hanabilah memakruhkan mengucapkan dan menjawab salam seorang gadis. Ulama Hanafiyyah menyebutkan bahwa seorang laki-laki yang ingin menjawab salam seorang wanita hendaknya ia ucapkan salam untuk dirinya sendiri begitu juga sebaliknya seorang wanita menjawab salam untuk dirinya sendiri jika ada laki-laki yang memberi salam padanya. Bahkan ulama Syafi’iyyah dengan tegas mengharamkan seorang wanita menjawab salam seorang laki-laki.”

Kesimpulannya: kata-kata (uhibbuki fillah) sepatutnya hanya diucapkan seorang laki-laki kepada teman laki-lakinya, istrinya atau wanita-wanita yang menjadi mahramnya. Begitupula wanita mengucapkan kata-kata ini kepada sesama wanita, suaminya dan laki-laki yang menjadi mahramnya.

Adapun jika kata-kata ini diucapkan antara laki-laki dan wanita yang tidak memiliki hubungan mahram maka minimal hukumnya makruh. Adapun setan mengalir ditubuh anak adam ditempat aliran darah. Terkadang ia mampu menemukan celah untuk memberi pengaruh kejelekan dalam jiwa manusia. Kecuali jika kondisi benar-benar aman dari kerusakan dan fitnah maka tidak ada masalah.

Hendaknya perlu digarisbawahi bahwa apa yang menimpa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah adalah sebuah surat yang ditulis seorang wanita yang tidak dikenal oleh Syaikh, siapa dia sebenarnya. Sehingga tidak mungkin bagi beliau menyambung hubungan lagi di lain waktu tentunya bersamaan dengan keadaan beliau sebagai imam dan kedudukan beliau yang tinggi, semoga Allah merahmati belaiu. Maka setiap muslim hendaknya menilai belaiu dengan penuh penghormatan.

Ada perbedaan antara kasus yang diperbolekan (seperti yang dialami Syaikh Bin Baz diatas) dengan kasus lain seperti jika ada seorang wanita muda menghubungi Syaikh secara langsung melalui sambungam telpon baik bicara berdua-duan saja atau via program acara tertentu lalu wanita tadi mengatakan ,”Uhibbuka fillah” atau wanita tadi menyampaikannya melalui email maka kasus seperti inilah yang pantas untuk dilarang dan diperingatkan.

Jika seseorang ragu-ragu atau dia tidak tahu apakah nantinya terfitnah ataukah  tidak maka seharusnya dia menghindari ucapan ini demi menutup jalan terbukanya pintu fitnah. Karena menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. Sementara manfaat yang diharapkan dari kata-kata ini lemah. Allahua’lam

Sumber: http://islamqa.info/ar/163565

Diterjemahkan oleh: Tim Penerjemah WanitaSalihah.Com
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel WanitaSalihah.Com

 

– الآداب والأخلاق والرقائق » الآداب .

163565: هل يجوز قول رجل لامرأة أجنبية عنه: “أحبكِ في الله” وكذلك العكس ؟

السؤال :

أود أن أسأل : في الحديث الصحيح : ” أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمرَّ به رجل فقال : يا رسول الله إني لأحب هذا ، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم ( أعلمتَه ؟ ) قال : لا ، قال : ( أعلمه ) قال : فلحقه فقال : إني أحبك في الله ، فقال : أحبك الذي أحببتني له . سؤالي : هل بالإمكان أن أقول لامرأة مسلمة : أحبكِ في الله ؟

الجواب :

الحمد لله

أولاً :

الحديث الذي أورد السائل رواه أبو داود ( 5125 ) ، وصححه النووي في ” رياض الصالحين ” ، وحسَّنه الألباني في ” صحيح أبي داود ” ، وهناك حديث آخر في الموضوع نفسه فلينظر مع شرح الحديثين والتعليق على معناهما جواب السؤال رقم : (115765 ) .

ثانياً :

أصل المحبة بين الرجل والمرأة : إنما تكون بين الزوجين والمحارم ، وأما من لا تحل للرجل : فقاعدة الشرع قطع باب التواصل والتعارف بينهما ما أمكن ، وسد أبواب الفتن ومنافذها .

قال المنَّاوي – رحمه الله – :

” ( إذا أحب أحدكم عبداً ) أي : إنساناً … فالمراد : شخص من المسلمين قريب أو غيره ، ذكراً أو أنثى ، لكن يظهر تقييده فيها بما إذا كانت حليلته أو محرَمه ” .

انتهى من ” فيض القدير ” ( 1 / 319 ) .

وقال – رحمه الله – أيضاً – :

ظاهر الحديث لا يتناول النساء ، فإن اللفظ ( أحد ) بمعنى واحد ، وإذا أريد المؤنث إنما يقال ” إحدى ” لكنه يشمل الإناث على التغليب ، وهو مجاز معروف مألوف ، وإنما خص الرجال لوقوع الخطاب لهم غالباً ، وحينئذ إذا أحبت المرأة أخرى لله : ندب إعلامها ” .

انتهى من ” فيض القدير ” ( 1 / 318 ) .

لكن إذا قدر أن رجلا متصديا للخير ، معروفا به ، أو بالدلالة عليه : فمن المفهوم أن تتعلق قلوب المحبين للخير به ، وأن تقع محبته في القلوب ، وهذا أمر لا حرج فيه ، إن شاء الله ، ما دام الأمر قاصرا على ذلك : نعني محبة الخير وأهله ، ومحبة هذا العبد لله .

وثواب المتحابين في الله يشمل الرجال والنساء جميعا ، والمؤمن يحب جميع المؤمنين والمؤمنات في الله ، وكذلك المؤمنة تحب جميع المؤمنين والمؤمنات في الله ، وتزداد تلك المحبة كلما ازداد الشخص إيمانا وطاعة لله تعالى ، ولا يشترط لحصول الثواب أن يخبره أنه يحبه في الله .

ثالثا :

إذا كانت الفتنة مأمونة من الإخبار بهذه المحبة بين الرجل والمرأة : كأن يكون الشيخ كبيرا في السن ، والفتنة به مأمونة من جانب المرأة ، والتواصل بينهما متعذرا ، وإنما هي كلمة قيلت ، وانتهى الأمر عند ذلك : فلا يظهر حرج في ذلك الإخبار إن شاء الله .

فقد بعثت سائلة للشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله رسالة من خلال برنامج ” نور على الدرب ” قالت فيها :

يعلم الله كم أحبكَ في الله ، وأطلب منك – يا شيخنا – أن توجه إليَّ نصيحة لوجه الله كما تنصح إحدى بناتك في ديني وخلُقي ، أرجو ذلك .

فأجابها الشيخ :

” أحبكِ الله الذي أحببتِنا له ، والله جل وعلا أخبر على لسان النبي صلى الله عليه وسلم أن المتحابين في جلاله من السبعة الذين يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ، يقول الرسول صلى الله عليه وسلم ( سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ) ذكر منهم اثنين ( تحابَّا في الله اجتمعا في ذلك وتفرقا عليه ) ، ويقول الرسول صلى الله عليه وسلم ( يقول الله يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي ) ، فالتحاب في الله من أفضل خصال الإيمان ومن أفضل القربات … “.

انتهى من ” نور على الدرب ” ( شريط 513 ) ، ونحو ذلك في : ” نور على الدرب ” ( شريط 593 ) .

رابعا :

الواجب أن يحذر العبد من التساهل في قول مثل هذا الكلام وسماعه ، أو أن يغره الشيطان بأن هذه محبة في الله ، أو أن هذه امرأة بعيدة عنك ، أو أكبر منك في السن ؛ فكم ممن دخل الشيطان عليه بتلك الحيل : حتى أفسد عليه دينه ودنياه :

فلكل ساقطة في الحي لاقطة وكل كاسدة يوما لها سوقُ

وكم ممن تعلق بامرأة لم يرها ، حتى عمي قلبه عن حقيقة الحال ، ولربما لو رآها قبل أن يتعلق بها : لفر منها فرارا !!

والأُذْنُ تَعْشَقُ قَبْلَ العَيْنِ أَحْيَانا

وقد تنبَّه العلماء رحمهم الله لهذا الأمر فمنعوا من تشميت المرأة الشابة ، ومن السلام عليها ، ومن تعزيتها : من رجل أجنبي عنها ، حيث يخشى الفتنة بينهما ، فهذه الكلمة الرقيقة ( أحبك في الله ) أولى بالمنع في حال توقع الفتنة بها .

ففي ” الموسوعة الفقهية ” ( 25 / 166 ) قالوا :

” ورد السلام منها – أي : المرأة – على مَن سلَّم عليها لفظاً واجب ، وأما إن كانت تلك المرأة شابَّة يُخشى الافتتان بها ، أو يخشى افتتانها هي أيضاً بمن سلَّم عليها : فالسلام عليها وجواب السلام منها : حكمه الكراهة عند المالكية والشافعية والحنابلة ، وذكر الحنفية أن الرجل يرد على سلام المرأة في نفسه إن سلمت هي عليه ، وترد هي أيضا في نفسها إن سلم هو عليها ، وصرح الشافعية بحرمة ردها عليه ” انتهى .

وعلى هذا ، فهذه الكلمة : ( أحبك في الله ) يقولها الرجل للرجل ، ولزوجته ولمحارمه من النساء ، وتقولها المرأة للمرأة ، ولزوجها ، ولمحارمها من الرجال .

أما أن تقال بين رجل وامرأة أجنبية عنه فأقل أحوالها الكراهة ، والشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم ، فقد يجد الشيطان فرصته ليثير في نفسه شرا ، إلا إذا قيلت في حال نأمن فيها الفتنة والمفسدة فلا حرج في ذلك .

وينبغي أن يتنبه إلى أن ما وقع من الشيخ ابن باز رحمه الله هي رسالة مكتوبة من امرأة لا يدري الشيخ من هي ، ولا يمكنه معاودة الاتصال بها مرة أخرى ، مع إمامة الشيخ وجلالة قدره رحمه الله ، فكل المسلمين ينظرون إليه نظرة إجلال وإعظام ، فهناك فرق بين هذه الصورة الجائزة ، وصورة أخرى : امرأة تتصل بالشيخ الذي قد يكون شابا أو قريبا من الشباب مباشرة بالهاتف ، سواء هاتفه الخاص أو عن طريق إحدى القنوات ، وتخاطبه مشافهة : أحبك في الله ! أو ترسل له رسالة على بريده الإلكتروني . فهذا هو الذي ينبغي أن يمنع ، وأن ينبه على منعه .

 

فإن تردد المرء ، أو لم يدر هل تحصل الفتنة أو لا تحصل : فالمتوجه أيضا المنع من ذلك ، سدا للذريعة ، ولأن درء المفاسد ، مقدم على جلب المصالح .

هذا مع ضعف جانب المصلحة التي ترجى من قول مثل ذلك .

والله أعلم .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.