Kronologi Pembunuhan Husain Banyak versi yang beredar mengenai kronologi pembunuhan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut ini kronologi yang valid. Sebuah kabar terdengar di telinga penduduk Irak bahwa Husain belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 60 Hijriah. Kemudian mereka mengirim sekelompok utusan dan beberapa buku kepada Husain. Mereka ingin berbaiat kepada Husain. Mereka tidak rela bila Yazid, ayahnya (yaitu Muwaiyah), Utsman, Umar, atau Abu Bakar yang menjadi khalifah. Yang mereka inginkan, Ali dan anak keturunannyalah yang memegang tampuk kekhalifahan. Akhirnya, tiba jua kiriman buku tersebut; jumlahnya lima ratus buku. Selepas itu, Husain mengutus anak-pamannya (yaitu sepupu Husain), Muslim bin Aqil, untuk mencari tahu dan mengenal seluk-beluk baiat penduduk Irak tersebut beserta konsekuensinya. Setibanya di Kufah (Irak), Muslim menjadi yakin bahwa orang-orang di sana memang menginginkan Husain. Kemudian mereka berbaiat kepada Husain; kejadian itu berlangsung di kampung Hani bin Urwah. Ketika titah Yazid bin Muawiyah tiba di Syam, seorang wakil dari Bashrah diutus kepada Ubaidullah bin Ziyad di Kufah. Selepas itu, mulailah tersiar kabar bahwa Muslim bin Aqil sedang menginap di kampung Hani bin Urwah, dan di sana telah dilangsungkan baiat (janji setia) kepada Husain. Karenanya, seorang utusan dikirim kepada Hani bin Urwah untuk bertanya perihal keberadaan Muslim bin Aqil. Sebelum bertanya kepada Hani, utusan tersebut terlebih dahulu memberi tahu bahwa mereka telah tahu peristiwa baiat di kampung Hani. Hani bin ‘rwah melontarkan ucapan – ucapannya ini sangat terkenal – yang menunjukkan keberanian dan solidaritasnya, “Demi Allah, andai di bawah kakiku ada bahaya, aku tidak akan mengangkatnya!” Karena Hani menunjukkan sikap ngotot tersebut, Ubaidullah bin Ziyad memukulnya dan menjebloskannya ke penjara. Sesampainya kabar – mengenai Hani – di telinga Muslim bin Aqil, ia pun bergerak mendatangi Ubaidullah bin Ziyad. Dia memimpin pengepungan bersama empat ribu orang prajurit bersenjata. Pengepungan itu berlangsung di kawasan Zhahirah. Ubaidullah bin Ziyad bersiap menghadapi serangan pasukan Muslim bin Aqil. Ia menakut-nakuti pasukan Muslim dengan pasukan tentara dari Syam. Bukan hanya itu; Ubaidullah juga membujuk sekaligus menggertak mereka. Alhasil, mereka berbalik mundur, hingga anggota pasukan Muslim bin Aqil bersisa tiga puluh orang saja. Tatkala matahari terbenam, Muslim bin Aqil hanya tinggal seorang diri. Semua anggota pasukannya pergi meninggalkannya. Ia pun akhirnya ditangkap, dan Ubaidullah bin Ziyad memerintahkan bawahannya untuk menghukum-mati Muslim bin Aqil. Sebelum dieksekusi, Muslim memohon agar diperbolehkan mengirim surat untuk Husain. Ubaidullah mengizinkannya. Isi suratnya, “Kembalilah kepada keluargamu! Jangan tertipu oleh penduduk Kufah! Penduduk Kufah benar-benar telah membohongimu dan membohongiku. Tidak terbuka kesempatan sama sekali untuk pembohong.” Lalu, Ubaidullah memerintahkan eksekusi Muslim bin Aqil. Eksekusi-mati itu berlangsung pada hari Arafah (yaitu hari berkumpulnya para jemaah haji di Padang Arafah). Padahal sebelumnya, Muslim bin Aqil telah mengirim surat kepada Husain agar dia mau datang ke Kufah. Husain pun akhirnya bersiap ke luar Mekkah, pada hari Tarwiyah. Di sekelilingnya telah banyak shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang menasihati agar membatalkan rencana kepergiannya. Di antaranya, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Amr, dan Muhammad bin Al-Hanifah (saudara Ibnu Amr). Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Wahai Abu Abdillah, aku betul-betul berniat menasihatimu. Aku menyayangimu. Aku telah mendengar bahwa penduduk di Kufah yang memihakmu telah menulis surat kepadamu, mereka memintamu untuk pergi mendatangi mereka. Jangan pergi! Aku pernah mendengar ayahmu berkata di Kufah, ‘Demi Allah, aku jenuh dengan mereka (oknum penduduk Kufah)! Aku juga benci mereka! Mereka pun telah jenuh dan benci denganku. Tidak pernah sekali pun mereka menepati janji. Barang siapa yang ikut berkomplot dengan mereka, pada hakikatnya telah gagal. Demi Allah, mereka sama sekali tidak punya niat maupun semangat untuk menegakkan agama Allah, juga tidak sabar bila berada di bawah hunusan pedang.’” Ibnu Umar juga ikut angkat bicara, “Aku akan sampaikan kepadamu sebuah hadits, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian menawarkan pilihan: dunia atau akhirat. Ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memilih akhirat, bukan dunia. Sesungguhnya dirimu adalah bagian dunia. Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang mampu menguasainya, dan jika Allah memalingkan dunia dari kalian maka itu pasti baik untuk kalian.’” Meski telah dinasihati, Husain menolak dan tetap bersikukuh pergi. Karenanya, Ibnu Umar pun menangis. Ia berujar, “Semoga Allah menjagamu dari pembunuhan.” Berita tentang nasib Muslim bin Aqil akhirnya didengar Husain dari utusan yang dikirim oleh Muslim. Karenanya, Husain memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, putra-putra Muslim melarangnya. Mereka berkata, “Jangan kembali dulu sampai kami temukan jenazah ayah kami.” Ternyata Husain setuju dengan pendapat mereka. Perjalanan pun berlanjut. Di tempat lain, Ubaidullah bin Ziyad telah mengirim batalion beranggotakan seribu orang di bawah pimpinan Al-Hur bin Yazid At-Tamimi. Tujuannya, mencegah Husain agar tak jadi mendatangi Kufah. Akhirnya, Al-Hur dan Husain bertemu muka di Qadisiyah. Ia mengepung Husain supaya jangan menuju Kufah. Husain malah berkata, “Menjauh dariku! Celakalah ibumu (ungkapan ini digunakan orang Arab untuk menggambarkan kondisi yang mengherankan)!” Al-Hur menyahut, “Demi Allah, kalau saja orang-Arab lain yang berkata begitu tentang aku dan ibuku, tentu aku akan balas mengatainya begitu. Tetapi, apa yang harus kukatakan kepadamu dan kepada ibumu? Ibumu radhiyallahu ‘anha adalah penghulu para wanita di muka bumi.” Sewaktu Husain tiba di Karbala, sisa pasukan Ubaidullah bin Ziyad datang dengan kekuatan empat ribu orang, di bawah pimpinan Umar bin Sa’ad. Husain pun berkata, “Tempat apa ini?” Mereka menjawab, “Ini Karbala.” Husain menanggapi, “Karb (kesedihan) dan bala’ (bencana).” Tatkala Husain menyaksikan pasukan yang begitu besar tersebut, ia sadar bahwa tidak mungkin lagi ia mengelak. Ia mengatakan, “Aku hadapkan dua pilihan untuk kalian: kalian minta aku kembali (ke Mekkah) atau kalian biarkan aku untuk bisa menemui Yazid di Syam.” Umar bin Sa’ad menimpali. “Aku yang akan pergi menemui Yazid. Aku juga yang akan menemui Ubaidullah.” Berarti, Umar tidak membiarkan Husain pergi menemui Yazid. Umar diutus menjumpai Ubaidullah untuk membawa pesan. Ternyata, Ubaidullah menolak kedatangan Husain kecuali bila Husain datang menyerahkan diri sebagai tawanan. Ketika Husain tahu komentar Ubaidullah, Husain jelas menolak untuk menyerahkan diri sebagai tawananan. Akhirnya pecahlah perang antara keduanya; 73 orang melawan 5000 orang. Turut bergabung – dengan Husain – 30 orang dari Kufah untuk melawan pasukan Al-Hur bin Yazid. Sewaktu pasukannya melemah, Husain berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku menyodorkan pilihan kepada diriku: surga atau neraka.” Tentu kekuatan antara dua pasukan ini tidak sebanding. Alhasil, sahabat-sahabat Husain radhiyallahu ‘anhum terbunuh di depan matanya. Hingga tersisalah Husain seorang diri. Ia bertarung bagai singa. Namun, jumlah pasukan Kufah jauh lebih banyak. Setiap anggota pasukan tersebut berangan-angan andai orang lain saja yang akan membunuh Husain, supaya mereka tidak perlu repot melumuri tangan mereka dengan darah beliau radhiyallahu ‘anhu. Lalu akhirnya, muncul seorang anggota pasukan yang “menjijikkan” – namanya Syammar bin Dzul Jawsyan. Dialah yang melemparkan tombak ke arah Husain, lalu beliau pun tersungkur ke tanah. Kemudian mereka mengerumuni beliau dan membunuhnya beramai-ramai. Beliau pun wafat sebagai seorang syahid – insya Allah. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Syammar bin Dzul Jawsyan yang memenggal kepala Husain. Ada pula riwayat lain yang mengatakan bahwa pelakunya adalah Sinan bin Anas An-Naj’i. Wallahu a’lam. Adapun versi kisah bahwa Husain tidak diberi air hingga mati kehausan, atau versi-versi lain, sebenarnya itu dikarang-karang semata. Satu hal yang pasti, tragedi pembunuhan Husain adalah musibah yang begitu menyedihkan dan menyayat hati. Setiap orang yang ikut andil dalam pembunuhan itu pasti hancur dan rugi! Mereka dimurkai oleh Allah, sedangkan Husain dan pasukannya justru mendapat rahmat dan ridha Allah. Kita doakan beliau dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Berikut ini adalah rincian pasukan Husain yang terbunuh: Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas. Anak-anak Husain bin Ali bin Abi Thalib: Ali Al-Akbar dan Abdullah. Anak-anak Hasan bin Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Abdullah, dan Al-Qasim. Anak-anak Aqil: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, Abdullah bin Muslim bin Aqil. Anak-anak Abdullah bin Ja’far: ‘Aun dan Muhammad. Mereka semua punya hubungan darah dengan Husain dan Muslim bin Aqil radhiyallahu ‘anhum. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha; dia berkata, كان جبريل عن النبي صلى الله عليه وسلم والحسين معي، فبكى الحسين فتركته فدخل على النبي صلى الله عليه وسلم فدنى من النبي صلى الله عليه وسلم، فقال جبريل: أتحبه يا محمد؟ فقال: نعم. قال: إن أمتك ستقتله وإن شئت أريتك من تربة الأرض التي يقتل بها فأراه إياها فإذا الأرض يقال لها كربلاء “Jibril tengah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Husain bersamaku. Husain menangis, maka aku tinggalkan ia kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilku. Jibril berkata, ‘Engkau mencintainya (Husain), wahai Muhammad?’ Rasulullah menjawab, ‘Iya.’ Jibril melanjutkan, ‘Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan kuperlihatkan kepadamu lokasi pembunuhannya.’ Kemudian Jibril memperlihatkannya. Ternyata, lokasi itu adalah Karbala.” (HR. Ahmad dalam kitab Fadhailush Shahabah; sanad hadits: hasan) Terdapat sebuah cerita, bahwa suatu ketika langit menurunkan hujan darah. Tembok-tembok rumah dipenuhi darah. Bila sebongkah batu diangkat, di bawahnya pasti ada darah. Seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih berubah menjadi darah. Riwayat ini hanya rekaan untuk membangkitkan emosi orang. Namun sayang, sanadnya tidak shahih. Bagaimana hukum kepergian Husain (menuju Kufah)? Kepergian Husain (menuju Kufah) sebenarnya tidak memberi manfaat apa pun; tak ada manfaat agama maupun manfaat duniawi. Banyak shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang telah melarangnya. Mereka juga sudah coba mencegahnya. Di tengah perjalanan, sebenarnya Husain pun telah berniat kembali ke Mekkah – tidak lanjut menuju ke Kufah. Namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya untuk meneruskan perjalanan. Kepergian Husain merupakan sebab timbulnya kezaliman terhadap Husain, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga akhirnya beliau terbunuh. Kepergian Husain dan tragedi pembunuhan atas dirinya telah memunculkan keburukan, yang mungkin tidak akan terjadi andai Husain tetap berada di Mekkah. Namun, demikianlah ketetapan dan takdir Allah Tabaraka wa Ta’ala yang akan terjadi meski manusia tidak menyukainya. Pembunuhan Husain masih belum ada apa-apanya dibandingkan terbunuhnya para nabi. Seperti, pembunuhan Nabi Yahya; kepala beliau ‘alaihis salam dipersembahkan sebagai mahar untuk seorang wanita yang bernama Baghyi. Nabi Zakariya pun mati terbunuh. Masih banyak nabi lain yang juga mati terbunuh, sebagaimana firman Allah Ta’ala, قل قد جاءكم رسل من قبلي بالبينات وبالذي قلتم فلم قتلتموهم إن كنتم صادقين “Katakanlah, ‘Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa perkara yang kamu sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu adalah orang-orang yang benar?'” (QS. Ali Imran: 183) Serupa dengan tragedi itu, Umar dan Utsman juga mati terbunuh. Semoga Allah merihai mereka semua. Bagaimana seharusnya menyikapi tragedi ini? Setiap muslim yang takut kepada Allah tidak boleh mengadakan perayaan khusus untuk memperingati kematian Husain dan pasukannya radhiyallahu ‘anhum, seperti menampar wajah, menyobek baju, meratap meraung-raung, atau perbuatan lain semisal itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan, ليس منا لطم الخدود وشق الجيوب “Tidak termasuk golongan kami: orang yang menampar wajah dan mengoyak baju.” (HR. Bukhari) Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, أنا بريء من الصالقة والحالقة والشاقة “Aku berlepas diri dari orang yang (ketika tertimpa musibah) maka ia meraung-raung, menggundul rambutnya, dan menyobek (bajunya).” (HR. Muslim) Serta sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, إن النائحة إذا لم تتب فإنها تلبس يوم القيامة درعاً من جرب وسربالاً من قطران “Orang yang meratapi (musibah), jika tidak bertaubat, maka kelak pada hari kiamat akan dipakaikan zirah (pakaian pelindung) berupa penyakit kudis dan jubah mereka terbuat dari lelehan cairan yang panas.” (HR. Muslim) Setiap muslim berakal yang tertimpa musibah seperti ini wajib mengamalkan firman Allah, الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (sesungguhnya kami ini milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali)” (QS. Al-Baqarah: 156) Tidak ada satu pun referensi valid yang menyatakan bahwa anak keturunan Husain – seperti Ali bin Husain (putra Husain), Muhammad bin Ali bin Husain, Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain., atau Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhum – menampar wajah, menyobek baju, atau meraung-raung. Juga tak ada satu pun ulama kaum muslimin yang melakukan tindakan tercela semacam itu. Mereka itulah teladan kita. Kita meniru kemuliaan dan kejayaan mereka. Mana buktinya bahwa Yazid bin Muawiyah terlibat dalam pembantaian Husain? Yazid bin Muawiyah sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Husain. Ini bukan pembelaan fanatik terhadap Yazid, namun ini demi mengungkap kebenaran. Tidak pernah sedikit pun Yazid menyusahkan kita! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Berdasarkan kesepakatan seluruh pakar sejarah, Yazid bin Muawiyah tidak pernah memerintahkan pembunuhan Husain. Yazid hanya menulis surat kepada Ibnu Ziyad untuk melarang Husain memasuki wilayah Irak. Sewaktu Yazid mendengar kabar pembunuhan Husain, ia terguncang. Ia menangis sedih di rumahnya. Yazid tidak mencela ahlul bait, bahkan ia begitu menghormati ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ingin melindungi mereka. Itulah yang membuatnya meminta Husain agar kembali saja ke Mekkah. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa ia menawan para wanita ahlul bait kemudian menggiring mereka menuju Syam dan mengasingkan mereka di sana, itu adalah riwayat dusta dan palsu! Realitanya, kaum Bani Umayyah begitu mengagungkan Bani Hasyim. Buktinya, ketika Hajjaj bin Yusuf menikahi Fathimah binti Abdullah bin Ja’far, Abdul Malik bin Marwan tidak menerima pernikahan tersebut. Ia memerintahkan Hajjaj untuk meninggalkan Fathimah dan menceraikannya. Mereka amat menaruh hormat kepada Bani Hasyim. Mereka tak pernah mencela Bani Hasyim. Tidak pernah!” Kepala Husain yang terpenggal Tidak ada bukti sejarah yang valid yang mampu menunjukkan bahwa penggalan kepala Husain dikirim kepada Yazid di Syam. Yang valid, Husain terbunuh di Karbala dan kepalanya dipenggal kemudian dikirim kepada Ubaidullah bin Ziyad di Kufah. Orang-orang tidak mengetahui letak kubur Husain dan lokasi penyimpanan kepalanya. Wallahu Ta’ala a’lam. Semoga salawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan segenap shahabatnya. ** Baca juga kisah lengkapnya pada artikel Kupas Tuntas Kronologi Pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘Anhu Diterjemahkan (dengan penyesuaian bahasa) dari http://almanhaj.net/cms/threads/115 Penerjemah: Tim Penerjemah WanitaSalihah.Com Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits Artikel WanitaSalihah.Com February 9, 2015 by WanitaSalihah 1 comment 28428 viewson Jalan Hidup, Kisah dan Tokoh Share this post Facebook Twitter Google plus Pinterest Linkedin Mail this article Print this article Tags: Kisah Pembunuhan Husain, Perayaan Asyura, Syiah, Syiah bukan Islam, Tragedi Karbala, Tragedi Pembunuhan Imam Husain Next: Terus Menerus Melakukan Maksiat Hingga Terasa Remeh Previous: Larangan Bersumpah atas Nama Rasulullah
Andy Waloeyo 10 September , 2016 at 9:58 pm Assalamu’alaiqum Pak/bu mau tanya tentang keutamaan nabi dan imam mana yg lebih utama?? Sekedar bertanya aja, trmksh.. Reply