Ketika Hati Harus Berbagi Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat…” (QS. An Nahl: 90) اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “… Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahiu apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maaidah: 8) Rasanya tidak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa mayoritas penyebab timbulnya sengketa rumah tangga dikalangan suami yang berpoligami adalah suami yang mengobarkan api kecemburuan karena telah bersikap tidak adil. Oleh karena itu, seorang suami hendaklah bisa memberika penghargaan tertentu kepada setiap istrinya. Dan bahwa mereka masih anggota keluarga yang dapat memberikan manfaat dan mempunyai peran penting dalam keluarga, sehingga bisa menenangkan hatinya. Ia juga tidak boleh lebih condong kepada salah seorang dari mereka dengan mengorbankan yang lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ “Barangsiapa memiliki dua orang istri, lalu ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan tubuhnya miring sebelah.” (HR Abu Dawud no 2123 dan At-Thirmidzi no 1141 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) Oleh karena itu seorang suami harus bersikap adil dalam melayani hak para istrinya sebagai wujud dari upaya meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia bercerita, ”Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak bepergian jauh, beliau mengundi para istrinya. Siapa saja diantara mereka yang keluar namanya, maka dialah yang berhak menemani beliau.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Syarhus Sunnah IX/153) Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, ”Seorang suami tidak harus mengganti hari-hari selama kepergiannya untuk istri-istrinya yang lain. Sebab, walaupun seorang istri yang menemani suaminya itu beruntung dengan keikutsertaannya itu, namun ia juga mendapatkan keletihan menanggung beratnya perjalanan. Menyamakannya dengan istri-istri lainnya yang merasa nyaman berada di rumah, merupakan salah satu bentuk dari ketidakbijaksanaan. Berbeda halnya jika ia keluar dengan ditemani oleh salah seorang istrinya, namun tanpa melalui undian, maka suami harus mengganti (hari perjalanannya-pen) untuk istri-istri yang lain. Dan suami yang berbuat demikian itu sendiri telah berbuat maksiat (karena membawa salah satu istrinya tanpa diundi lagi).” Bukan hanya dalam hal bepergian seorang suami harus bersikap adil, tetapi ia harus bersikap adil ketika sakit. Apabila seorang suami sakit dan minta tinggal di rumah salah satu istrinya, maka hal itu harus seidzin istri-istrinya yang lain, sebagai sikap meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika tidak, maka istri yang lain akan merasa diabaikan sehingga dapat membuatnya sakit hati dan kecewa. Perbuatan demikian merampas ketenangan jiwanya, sekaligus merampas kebahagiaan dalam sebuah kehidupan berkeluarga. عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sakit yang menyebabkan beliau mati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bertanya, “Saya besok menginap di mana?, saya besok menginap di tempat siapa?” yaitu beliau ingin menginap di tempat Aisyah. Maka istri-istri beliaupun mengizinkan beliau untuk menginap di mana saja beliau kehendaki. Maka beliaupun menginap di rumah Aisyah hingga beliau meninggal” ( HR Al-Bukhari V/2001 no 4919) Dengan melihat kepada kehidupan rumah tangga para ulama Salafush Shalih kita berikut ini, kita akan menemukan kebenaran sikap adil yang mengagumkan dan sangat jernih itu. Dari Yahya bin Sa’id , ia bercerita, ”Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu memiliki dua orang istri. Apabila ia berada di rumah salah seorang istrinya, maka ia tidak minum di rumah istrinya yang lain. Dan (dalam riwayat yang lain), apabila sedang berada di rumah salah seorang dari mereka, ia tidak berwudlu di rumah istrinya yang lain. Kemudian istrinya meninggal dunia akibat penyakit yang melanda negeri Syam. Sementara orang-orang sibuk semua. Lalu kedua istri Mu’adz tersebut dikuburkan dalam satu lubang. Sebelum dikuburkan, terlebih dahulu ia mengundi siapa di antara keduanya yang lebih dulu dimasukkan ke liang kubur.” (Shafwatush Shafwah karya Ibnul Jauzi (1/212)) Tidak heran jika kita menemukan sikap wara’ tersebut dalam diri Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri-seperti diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu-pernah mengatakan, “Ummatku yang paling mengetahui persoalan halal dan haram adalah Mu’adz.” Semoga Allah ‘Azza a Jalla meridhai Mu’adz dan semua Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim tidak boleh mengurangi hak salah stu istrinya. Ia juga tidak boleh berlebihan dalam memberikan kecenderungan hati. Sebaliknya, ia harus mengendalikan jiwanya dengan berpegang teguh kepada ketentuan syari’at. Allah ‘Aza wa Jalla berfirman, فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “ Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. An-Nisaa’: 129) Allah ta’ala juga berfirman: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “Kemuadian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisaa’: 3) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang cerdas adalah yang dapat mengendalikan dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang lemah adalah orang yang tunduk kepada hawa nafsunya dan memiliki angan-angan yang tinggi kepada Allah ta’ala.” (Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al Baghawi menghasankan hadits ini. Lihat Syarhus Sunnah XIV/308) Orang yang mawas diri adalah orang yang melindungi amal kebaikannya dari hal-hal yang dapat menghilangkan pahalanya, tidak mengulur tali kekang nafsunya, bahkan hawa nafsunya beralih mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh syari’at demi meraih kenikmatan surga yang makanan dan naungnnya abadi selama-lamanya. *** Dikutip dari buku “ Kecemburuan Wanita” (Kiat-Kiat Mengelola Cemburu di Kalangan Wanita Agar dapat Meredam Malapetaka dalam Rumah Tangga), Penulis: Khaulah Darwis, Penerbit Pustaka Imam Asy Syafi’i (Judul Asli: Al-Ghiiratu ‘Inda an-Nisaa’) WanitaSalihah.Com June 12, 2014 by Redaksi WanitaSalihah.Com 0 comments 10411 viewson Konsultasi Keluarga Share this post Facebook Twitter Google plus Pinterest Linkedin Mail this article Print this article Tags: Adil, Cemburu, Poligami, Rumah Tangga Bahagia, Safar, Suami Next: Anakku… Selamatkan Dirimu dari Teman yang Buruk Previous: Pintu Surga pun Terbuka