Ketika Engkau “Mengambil” Anak Gadis dari Asuhan Orang Tuanya Pernikahan bukanlah sekedar ikatan di atas buku hijau dengan stempel KUA. Bukan pula hanya ucapan ijab dan qobul antara wali dan mempelai pria plus mahar dan dua saksi. Namun, pernikahan adalah mahkota kehormatan yang terjalin di atas perjanjian yang sangat kuat. Allah menyebutnya dengan kalimat “Miitsaaqan Ghalidhan”. Penamaan seperti ini telah Allah sebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak tiga kali perjanjian yang berbeda, namun semuanya adalah perjanjian-perjanjian yang agung dan luhur. Yang pertama: Perjanjian Allah dengan para utusannya agar mereka menyeru ummat manusia kepada tauhid.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa putera Maryam ,dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzaab: 7) Yang kedua: Perjanjian Allah dengan Bani Israil agar mereka patuh kepada Allah dan menjalankan hukum-hukum Taurat. Allah berfirman: وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيْثَاقِهِمْ وَقُلنَا لَهُمْ ادْ خُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيْثَاقًاغَلِيْظًا “Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: ”Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud”, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: ”Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu“, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisaa’: 154) Yang ketiga: Perjanjian yang daimbil oleh para perempuan dari suami-suami mereka, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقًاغَلِيْظًا “Dan istri-istri kalian telah mengambil dari kalian suatu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 21) Miitsaaqan Ghalidhan, maknanya, mereka telah mengambil perjanjian yang berat yang ditekankan dengan penekanan tambahan, dengannya sulit melanggarnya, seperti sebuah baju yang tebal yang sulit merobeknya. (Mahasin Ta’wil 3/57) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: فَاتَّقُوا اللّٰهَ فِي النِّسَا ِٕ ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللّٰهِ ،وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّٰهِ “Bertaqwalah kepada Allah dalam perkara perempuan-perempuan itu, sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan halal bagi kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim no 1218) Saudaraku… Coba renungkan betapa agungnya pernikahan. Bagaimana mungkin tidak disebut berpindahnya kepemilikian sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, ketika urusannya adalah berpindahnya surga seseorang kepada orang lain yang tidak pernah punya andil dalam merawat dan membesarkannya. Orangtuanya telah menyerahkan putrinya kepadamu sepenuhnya. Padahal, kau tidak pernah turut andil dalam melahirkannya ke dunia ini. Ibunya selama 9 bulan dengan penuh lemah di atas kelemahannya mengandung istrimu itu. Kau tidak pernah turut campur dalam memberikan perhatian dan kasih sayang. Kau juga tidak pernah merasakan suka duka dalam membesarkan perempuan yang sekarang menjadi istrimu. Tatkala dia sakit, tatkala dia menangis, tatkala dia sedih, tatkala dia berduka, kau tak pernah hadir pada hari-hari itu. Kemudian kau datang untuk meminangnya, momen itu adalah peristiwa yang cukup berat bagi orang tuanya. Anak yang dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang akan dilepas dari dekapan mereka, dikeluarkan dari istana mereka. Diserahkan kepadamu, yang merekapun tak dapat memastikan, bagaimana kelak hidupnya bersamamu. Namun karena perintah Illahi, dengan segala resiko yang harus diterima, kaupun dinikahkan. Dengan satu harapan, sebagai suami kau dapat menggantikan posisi keduanya, merawat, menjaga, mencitai dan membuatnya bahagia. Pada hakekatnya kau telah mengambil perjanjian yang akan kau pertanggungjawabkan di dunia sebelum di akhirat. Bukan sekedar kertas hijau biasa yang dapat kau gandakan di percetakan, dan bisa hilang, terbakar atau kau bunag kapan kau bosan dengannya. Miitsaaqan Ghalidhan… **** Dikutip dari buku “Andai Aku Tidak Menikah Dengannya” Karya DR.Syafiq bin Riza bin Hasan bin Abdul Qadir bin Salim Basamalah,MA; Penerbit: Rumah Ilmu, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat (Judul dari redaksi) WanitaSalihah.Com April 15, 2015 by Redaksi WanitaSalihah.Com 0 comments 16555 viewson Konsultasi Keluarga Share this post Facebook Twitter Google plus Pinterest Linkedin Mail this article Print this article Tags: akad nikah, ijab qabul, mitsaqan ghalidhan, nasehat untuk suami, Pernikahan, pinangan Next: Bolehkan Mengatakan “Fulan Percaya Diri”? Previous: Apa Arti Alif Lam Mim dalam Al Quran?