Kisah Penguasa Nasrani Yang Melindungi Kaum Muslimin Kemudian Berislam Kisah ini terjadi sekitar pertengahan atau akhir tahun ke-4 hingga pertengahan tahun ke-5 kenabian. Saat itu, kaum muslimin berada di posisi yang lemah. Penindasan terjadi semakin menjadi-jadi sehingga seakan-akan tiada tempat lagi bagi mereka di Makkah. Dalam kondisi ini, turunlah surat Az-Zumar: 10 لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “.. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa ada seorang raja dari Habasyah yang adil, tidak seorang pun yang terdzalimi olehnya. Karena itu beliau memerintahkan kaum muslimin agar berhijrah kesana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah. Akhirnya, pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, berhijrahlah rombongan pertama dari kalangan para sahabat menuju Habasyah. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dipimpin oleh Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang membawa serta Ruqayyah putri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap gulita agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy. Mereka berjalan menuju laut lalu mengarah ke pelabuhan Sya’ibah. Qodarullah ternyata ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan mereka pun ikut bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu lalu menelusuri jejak perjalanan kaum muslimin. Namun, kaum muslimin telah bertolak dari pantai dan mereka menetap di Habasyah dengan aman dan mendapat sebaik-baik perlindungan. Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaannya. Melihat hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali menyarankan para sahabat untuk berhijrah kembali ke negeri Habasyah. Perjalanan kali ini dirasa amat berat karena kaum Quraisy dalam keadaan waspada dan bertekad menggagalkannya. Namun Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka berhasil sampai ke Negeri Habasyah. Hijrah kali ini membawa 83 orang laki-laki dan 18 atau 19 orang wanita. Kaum Musyrikin Quraisy tidak senang ketika kaum muslimin yang berhijrah tersebut mendapatkan tempat berlindung. Mereka lalu mengirimkan dua orang pilihan yang cerdik untuk diutus ke Habasyah yaitu Amr bin Al-Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah (sebelum keduanya kemudian masuk Islam). Keduanya membawakan hadiah menggiurkan dari pemimpin Quraisy untuk Sang Raja dan para uskupnya. Kedua orang ini kemudian menemui para uskupnya terlebih dahulu dan mempersembahkan hadiah-hadiah dan membekali mereka alasan-alasan agar kaum muslimin dapat terusir dariHabasyah. Setelah uskup menyetujui menyampaikan permintaan keduanya kepada Sang Raja untuk mengusir kaum muslimin, keduanya langsung menghadap sang raja dan menyerahkan hadiah-hadiah dan berbicara kepadanya. Keduanya berkata, “Wahai Baginda Raja, sesungguhnya kelompok yang masih bau kencur memasuki negerimu sebagai orang asing. Mereka telah meninggalkan agama kaum mereka. Tidak pula mereka menganut agama bagina, bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan baginda. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka, baik itu orang tua, paman-paman serta keluarga besar suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentu mereka lebih banyak memantau tindak-tanduk para pendatang tersebut, lebih mengetahui cela mereka, dan telah menegur mereka dalam hal ini.” Para uskup menimpali, “Benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai baginda raja. Serahkanlah mereka kepada keduanya untuk dibawa kembali ke negeri mereka.” Akan tetapi sang raja berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan perlu mendengarkan dari kedua belah pihak. Beliau lalu mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan mengundang mereka hadir. Mereka pun hadir dan sebelumnya mereka bersepakat untuk mengatakan sejujur-jujurnya apapun yang akan terjadi. Sang Raja berkata pada mereka, “Apa gerangan agama yang membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk kedalam agamaku atau agama-agama yang lain?” Ja’far bin Abi Thalib selaku juru bicara dari kaum muslimin menjawab, “Wahai Raja, kami dahulunya adalah kaum jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali silaturahmi, suka mengganggu tetangga, kaum yang kuat menindas kaum yang lemah,.. Demikianlah kondisi kami ketika itu hingga Allah mengutus seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu jelas nasab, kejujuran, amanah dan kesucian dirinya. Dia mengajak kami untuk hanya menyembah Allah saja dan agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar jujur dalam berbicara, melaksanakan amanah dan janji-janji, menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, serta melarang menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, memerintahkan kami agar melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa, (selanjutnya Ja’far menyebutkan hal-hal lainnya).. lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya dan kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukanya dengan sesuatu apapun; apa yang diharamkan atas kami, kami pun mengharamkannya dan apa yang dihalalkan atas kami, kami pun menghalalkannya. Karena sebab itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa dan membujuk kami agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah dan mengajak kami kembali melakukan penyembahan berhala-berhala, menghalalkan perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Maka tatkala mereka memaksa kami, menganiaya kami, mempersempit ruang gerak kami serta menghalangi kami agar tidak dapat beribadah, akhirnya kami menempuh jalan menyelamatkan diri menuju negeri anda, wahai raja. Kami lebih memilih anda daripada yang lain, karena lebih suka berada dibawah perlindungan anda. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terdzalimi disisimu, wahai raja!” Sang raja bertanya, “Adakah bukti yang dibawanya dari Allah bersama kalian?” Ja’far menjawab, “Ya! Ada.” Sang raja berkata, “Bacakanlah dihadapanku!” Lalu dia membacakan permulaan surat maryam. Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, Demi Allah, (Ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri peristiwa itu) sang raja pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi lembaran-lembaran kitab suci yang berada ditangan mereka. Kemudian sang raja berkata kepada mereka, “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh ‘Isa ‘alaihissalam adalah berasal dari satu lentera” Lalu kepada kedua utusan Quraisy, sang raja berkata: “Pergilah kalian berdua! Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian!” Keduanya lalu keluar namun Amr bin al-Ash sempat berkata kepada Abdullah bin Rabi’ah, “Demi Allah, sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku patahkan argumen mereka sebagaimana aku menyatroni ladang mereka.” Abdullah bin Rabi’ah berkata, “Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menyelisihi kita.” Akan tetapi, Amr tetap bersikeras dengan tekadnya. Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi sang Raja dan berkata kepadanya, “Wahai baginda raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius tentang Isa bin Maryam” Sang raja lalu mengirim utusan kepada kaum Muslimin untuk mempertanyakan perihal pendapat mereka tentang ‘Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka sudah berada di hadapan sang raja dan raja bertanya tentang hal itu, Ja’far berkata, “Kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang diberitahukan kepada kami oleh Nabi kami shalallahu ‘alaihi wasallam, “Dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam si perawan suci.” Sang raja kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berkata, “Demi Allah! Apa yag kamu ungkapkan itu tidak melangkahi Isa bin Maryam meski seukurang ranting ini.” Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu langsung ditimpali oleh sang raja, “Demi Allah, sekalipun kalian mendengus!” Dia kemudian berkata kepada kaum muslimin, “Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan dikenai sanksi. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan dikenai sanksi. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan dikenai sanksi. Aku tidak ingin memiliki gunung emas jika harus menyakiti salah seorang dari kalian.” Kemudian sang raja berkata kepada pejabat istana, “Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Tatkala Allah mengembalikan kerajaanku ini kepadaku, Dia tidak pernah mengambil suapdariku, sehingga aku merasa patut mengambil suap (dengan memanfaatkan) kekuasaanku dan ketentuanku yang dipatuhi manusia, akupun mematuhinya.” Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata, “Kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan mereka tertolak mentah-mentah. Setelah itu, kami menetap di sisinya; sebaik-baik tempat singgah bersama sebaik-baik tetangga.” Siapakah sang raja itu? dia adalah Raja an-Najasy. Beliau telah beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan kenabian beliau, hanya saja dia menyembunyikan keimanannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang berada di Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Nasjasyi (Ashhamah) (raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (beliau bersabda, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya)”, (Mereka berkata : “Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-Najasyi”) (Beliau juga bersabda : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini”). Perawi hadits ini pun bercerita, Maka beliau berangkat ke tempat shalat (dan dalam sebuah riwayat disebutkan: Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, beliau maju dan mereka pun berbaris di belakang beliau (dua barisan) (dia bercerita, “Maka kami pun membentuk shaff di belakang beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan beliau)” (Dia bercerita : “Maka kami bermakmum dan beliau menshalatkannya). Seraya bertakbir atasnya sebanyak empat kali”. Diriwayatkan oleh al Bukhari (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54), dan lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasa’i (I/265 dan 280), Ibnu Majah (I/467), al-Baihaqi (IV/49), ath-Thayalisi (2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348, 438, 439, 479,539) melalui beberapa jalan dari Abu Hurairah. Sumber: – “Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung: Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam; Dari kelahiran hingga detik-detik terakhir”. Syaikh Shafiyyurrahmaan al-Mubarakfuri. Judul AsliAr-rahiq al-Makhtum. Penerbit: Daarul Haq. Jakarta 2012. –http://almanhaj.or.id/ Artikel WanitaSalihah.Com February 15, 2015 by WanitaSalihah 0 comments 13058 viewson Kisah dan Tokoh Share this post Facebook Twitter Google plus Pinterest Linkedin Mail this article Print this article Tags: Habasyah, Hijrah, Kisah Hijrah ke Habasyah, Kisah Raja Najasyi Next: 6 Alasan Mengapa Syiah Bukan Islam Previous: Bolehkah Membuat Kue dengan Motif Hewan?